Suara.com - Apriyani Rahayu bersama sang partner, Greysia Polii, berhasil merengkuh medali emas Olimpiade Tokyo 2020 dengan mengalahkan wakil China, Cheng Qing Chen/Jia Yi Fan di laga final, Senin (2/8/2021).
Dalam pertandingan final di Musashino Forest Sports Plaza, Tokyo, Greysia/Apriyani membungkam pasangan ranking tiga dunia itu dalam dua gim langsung, 21-19, 21-15.
Namun siapa sangka, sebelum menaiki podium tertinggi event olahraga paling prestisius di dunia itu, Apriyani Rahayu sempat melewati jalan begitu terjal sebagai pebulutangkis.
Dia berjuang meraih mimpi di tengah keterbatasan ekonomi, sebagaimana diceritakannya saat menjalani wawancara dengan PBSI via Live Instagram, 25 Juli 2020 lalu.
Baca Juga: Jalan Terjal Greysia Polii Rebut Emas Olimpiade: 3 Edisi, 3 Partner, dan Hampir Pensiun
Perempuan kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara itu berasal dari keluarga sederhana. Semasa kecil, dia bahkan kesulitan untuk bisa membeli raket.
Demi mengakomodasi minat Apriyani terhadap bulutangkis, ayahnya membuat raket sendiri yang bahan-bahannya berasal dari kayu dan papan.
"Jadi ayah saya saat itu belum bisa membelikan saya raket. Lalu dia buatkan raket dari kayu. Kayu sebagai gagangnya dan ada (papan) yang dibuat bulat begitu," kenang Apriyani.
"Ayah saya memang agak pintar kalau buat-buat benda seperti itu. Ada saja dia," tambahnya.
Raket papan itu pada akhirnya jadi gerbang pembuka bagi Apriyani untuk menata karier lebih serius di dunia bulutangkis.
Baca Juga: Sahabatan, Agnez Mo Bangga Greysia Polii Menang Medali Emas di Olimpiade Tokyo
Ayahnya yang melihat kesungguhan anaknya itu, pada akhirnya tak tega dan membelikan Apriyani sebuah raket sungguhan.
"Saya dulu pernah ada raket satu, saya masih ingat merknya Astec. Tipenya saya tidak tahu, tapi warnanya biru," jelas Apriyani.
"Setiap senarnya putus itu, saya tidak ganti, tapi saya ikat ulang agar bisa tersambung lagi. Setiap saya tidur, saya peluk itu raket walaupun saya tidak tahu alasannya kenapa."
Apri mengaku awalnya tak pernah berpikir untuk bisa berada di tempatnya saat ini, atlet nasional Pelatnas PBSI.
Namun, setelah mendapat kepercayaan dan dikirim ke Jakarta untuk berlatih di PB Pelita milik Icuk Sugiarto, keinginannya untuk menjadi pebulutangkis top mulai muncul.
"Saya tak pernah bermimpi (untuk jadi atlet profesional). Itu sebelum saya beraltih dan masuk klub," beber Apriyani.
"Saat masuk klub, baru saya makin tertarik. Saya pikir impian saya di sini, bulutangkis itu seru dan ada tantangannya."
Kesulitan yang dialami semasa kecil, disebut Apriyani cukup berpengaruh terhadap mentalitasnya kini. Dia tak gampang mengeluh saat mendapat kesulitan.
"Makanya saat latihan saya kerap bilang 'ya sudah ini memang capek, tapi tak secapek apa yang saya lakukan dahulu'," jelas atlet kelahiran 29 April 1998 itu.
Kendati sudah mendapat hasil dari kerja kerasnya, yakni masuk pelatnas dan menjadi wakil Indonesia di turnamen-turnamen internasional, Apri mengaku belum puas.
Menurutnya, menjadi atlet Pelatnas PBSI hanyalah sebuah titik pencapaian dalam kariernya. Dia ingin terus berjuang meraih prestasi yang lebih tinggi.
"Ya saya merasa bangga dengan diri sendiri, tapi tak mau terlalu bagaimana juga. Saya memang sudah masuk pelatnas, tapi titiknya bukan di sini saja," kata Apriyani.
"Saya ingin menggapai mimpi yang lebih tinggi lagi. Tapi kalau dibilang bangga, ya saya bangga dengan diri saya sih," jelasnya.
Kini, kerja keras Apriyani Rahayu terbayar tuntas. Bersama Greysia Polii dia mencetak sejarah yang sebelumnya belum pernah sanggup dilakukan orang Indonesia manapun.
Greysia/Apriyani menjadi ganda putri Indonesia pertama yang berhasil menggondol medali emas di sepanjang sejarah perhelatan Olimpiade.
Torehan apik yang diraih Greysia/Apriyani juga merupakan emas pertama bagi Kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.