Suara.com - Tak pernah terbersit di benak Bona Septano bahwa jalan hidup membawanya kini menjadi seorang pilot pesawat komersil.
Sejak kecil, cita-citanya hanyalah menjadi pebulutangkis top dan memenangkan banyak gelar.
Tak heran Bona Septano kecil bercita-cita jadi atlet top tepok bulu. Darah bulutangkis memang mengalir deras dalam keluarganya.
Kakak dan adik perempuannya—Markis Kido dan Pia Zebadiah Bernadet—tak lain mantan atlet bulutangkis Pelatnas PBSI.
Baca Juga: Begini Sesumbar Valentino Rossi Usai Hengkang dari Monster Yamaha
Markis Kido contohnya, pernah meraih medali emas Olimpiade 2008 Beijing di sektor ganda putra bersama Hendra Setiawan.
Sedangkan sang adik, Pia Zebadiah merupakan atlet ganda putri yang yang sudah malang melintang di dunia internasional, dan cukup lama membela Timnas Indonesia.
Olimpiade 2012 London mengubah kisah hidup seorang Bona Septano.
Setelah gagal menunaikan tugas meraih medali bersama Mohammad Ahsan, pikiran meninggalkan bulutangkis mulai mencuat dalam dirinya.
"Dari situ saya mulai memikirkan ke depannya, di bulutangkis bagaimana, karier saya untuk lanjut. Gagal di Olimpiade 2012 membuat saya cukup tertekan," kenang Bona Septano saat dihubungi Suara.com.
Baca Juga: Mayweather Akan Hadiri Pemakaman George Floyd, Korban Kekerasan Polisi
Bona Septano sadar selepas Olimpiade 2012 dia tak akan lagi berpasangan dengan Ahsan.
Pelatih telah memilih Hendra Setiawan sebagai parnter Ahsan, sementara dirinya dicoba dengan pemain junior.
Walaupun menyimpan kekecewaan besar di Olimpiade 2012, Bona tak langsung berhenti dari bulutangkis.
Dia masih menjaga motivasi untuk terus berkiprah di jagat internasional.
Pindah Haluan
Pertemuan Bona dengan dunia penerbangan kali pertama terjadi pada 2013.
Semua bermula saat dirinya diperkenalkan dengan simulator pesawat terbang oleh seorang kawan.
Saat itu, Bona langsung kepincut dengan mesin peraga yang seolah-olah membuat seseorang seperti menerbangkan pesawat sungguhan.
Dia pun memutuskan membeli simulator sendiri yang dia tempatkan di asrama Pelatnas PBSI.
Selama menjalani hobi barunya, eks pebulutangkis kelahiran Medan, 22 September 1987 silam itu kian mendalami dunia penerbangan lewat bacaan dari internet dan berbagai majalah.
Hingga pada akhirnya dia mantap untuk banting setir dan mencari peruntungan sebagai pilot pada 2014.
Hasil kurang memuaskan dalam dua tahun terakhir turut mendorong Bona Septano untuk mengakhiri kiprahnya di dunia bulutangkis yang sejak kecil amat dicintainya.
"Jadi saya ke luar Pelatans itu pada 2013 akhir, setelah itu masih lanjut (bermain profesional)," kata Bona.
"Akhirnya saya benar-benar memutuskan untuk stop bulutangkis pada 2014. Terakhir pertandingan saya di Indonesia Open 2014. Saya pikir kalau gagal di sini, saya mau banting setir."
Perjuangan Jadi Pilot
Rencana Bona banting setir dari atlet bulutangkis ke pilot bukannya tanpa halangan.
Keluarganya, termasuk Markis Kido, mempertanyakan dan menganggap keputusan Bona Septano hanya pelarian semata.
"Waktu itu (akhir 2013) keluarga saya awalnya sempat tak mendukung, saya bilang mau pensiun, mau jadi pilot," tutur peraih tiga medali emas SEA Games.
"Keluarga saya kaget, karena jauh banget nyasarnya. Mereka sempat tak percaya niat saya. 'Ini orang mabok atau apa', terutama yang gak percaya itu Kido, kalau Pia iya-iya saja."
"Mereka takut saya berpikiran untuk jadi pilot hanya sebagai pelarian doang, karena saya lagi down di bulutangkis," sambungnya.
Saat itu, Bona mengaku sempat putus asa untuk meyakinkan keluarganya.
Harapan muncul setelah dia merayu kembali ibundanya, yang pada akhirnya luluh juga.
"Akhirnya di 2014 saya bilang ke mamah. Awalnya saat saya bilang di 2013 dia menolak tapi tak mentah. Mamah ternyata diam-diam mencari tahu soal pilot," kata Bona.
"Dia mencari tahu sekolah pilot yang bagus di mana, begitu 2014 saya bilang lagi, nah nyokap saya setuju. Dia bertanya saya mau sekolah di mana," tambahnya.
Pada awalnya, Bona ingin menimba ilmu sebagai pilot di luar negeri.
Selain berkualitas, periode belajar yang singkat juga jadi pertimbangan.
Namun, sang ibu merekomendasikan Bona untuk bersekolah di Bali International Flight Academy (BIFA). Bona Septano pun setuju.
"Saya waktu itu sempat tak mau, karena saya tahu juga di BIFA itu sulit, sedangkan saya tak punya background pilot, jadi saya tidak pede," jelas peraih medali perunggu Kejuaraan Dunia 2011.
"Tapi, tahu-tahu nyokap saya sudah daftarkan. Saya kaget sekali saat itu. Saat itu saya berpikir mama mungkin mau tes saya serius apa nggak jadi pilot."
Les ke Kampung Inggris
Perjuangan Bona Septano untuk diterima di BIFA pada 2014 silam tidak berjalan mulus.
Dia sempat gagal dipercobaan pertama, sebelum akhirnya berhasil tiga bulan kemudian.
"Jadi tesnya banyak, ada psikotes, tes bakat terbang, bahasa Inggris. Saya sempat gagal di psikotes. Saat gagal di awal itu saya harus tunggu 3 bulan untuk bisa tes lagi," jelas Bona.
Bona Septano mengakui bahwa dirinya kurang persiapan saat ikut tes pertama.
Dia sama sekali tak belajar dan datang ke BIFA hanya bermodal semangat.
Pada tes kedua, dia sudah cukup siap. Ibunya bahkan memaksa Bona untuk mengikuti berbagai les, termasuk diminta mengunjungi kampung Inggris di Kediri.
"Saya sampai les matematika dan sebagainya. Mamah saya panggil guru ke rumah. Ribet sih, tapi karena saya ingin sekali jadi pilot ya saya jalani," ujar Bona.
"Istilahnya setelah berhenti dari bulutangkis, ini sudah tak ada jalan mundur, saya mau ke mana lagi kalau ini gagal?"
"Lalu Alhamdulillah setelah menjalani les dan ke kampung Inggris, saya keterima di BIFA," tambahnya.
Siswa Berprestasi
Di BIFA, Bona Septano tak langsung dipertemukan oleh pesawat sungguhan.
Dia lebih dulu menjalani masa orientasi semi militer demi melatih mental dan kedisiplinan.
Setelahnya, Bona selama tiga bulan harus menjalani pendidikan teori yang kerap disebut ground school.
Apabila berhasil melewati ujian akhir, para siswa baru memasuki tahap terbang sungguhan.
"Setlah tiga bulan selesai ground school, baru kita ikut ujian, setelah itu baru terbang," kenang Bona.
"Pertama kali saya di flying school itu pesawatnya Cessna 172, bukan pesawat penumpang. Jadi bentuknya kecil."
Walaupun tak memiliki latar belakang sebagai pilot, Bona nyatanya mampu menyerap ilmu di BIFA dengan sangat baik.
Bahkan, dia menjadi salah satu siswa berprestasi lantaran paling cepat mendapatkan izin untuk terbang tanpa pendamping.
"Jadi dikasih batas sama sekolah itu 20 jam terbang sama instruktur sudah harus bisa di lepas terbang sendiri," tutur Bona.
"Saya itu kebetulan Alhamdulillah diangkatan saya paling cepat diizinkan terbang solo (sendiri). Itu di jam ke-14," tambah peraih medali perak Piala Thomas 2010.
Bona tercatat menimba ilmu di BIFA selama 11 bulan sebelum mendapat comercial pilot license (CPL).
CPL merupakan tanda bukti seseorang telah memiliki bisa menerbangkan pesawat komersial.
Terbang Perdana
Setelah lulus dari BIFA pada akhir 2015, Bona langsung tancap gas melamar kerja ke berbagai maskapai penerbangan di Tanah Air.
Hampir satu tahun Bona berjuang mencari maskapai peminat sebelum lamaran kerjanya disambut oleh maskapai Sriwijaya pada akhir 2016.
"Setelah keterima saya tak langsung menerbangkan pesawat. Jadi di training lagi pesawat Boeing kurang lebih delapan bulan," kenang Bona.
Pengalaman Bona kali pertama terbang membawa penumpang terjadi pada 2017.
Dalam penerbangan perdananya, posisi yang ditempati Bona adalah co-pilot.
"Itu terbang pertama bawa penumpang, tujuan Jakarta-Surabaya," jelasnya.
Hingga kini, Bona Septano mengaku masih menjabat sebagai co-pilot.
Untuk naik jabatan menjadi pilot, dirinya menyebut butuh proses dan pengalaman yang cukup memakan waktu.
"Sekarang saya masih co-pilot. Co-pilot itu duduknya di kanan, kalau pilot itu kan captain, duduknya di kiri," kata Bona.
"Jadi pilot itu dilihat dari jam terbang biasanya, persyaratan untuk jadi captain itu tiap maskapai beda-beda."
"Kalau Sriwijaya memberlakukan jam terbang minimal 3500-4000 jam, sebelum bisa upgrade jadi captain, jelas co-pilot yang sudah sekitar 2.300 jam terbang itu.
Rindu Bulutangkis
Keikinan Bona mengaku bahagia dengan profesi barunya. Dia memang kerap merindukan bulutangkis.
Tapi, apa yang dijalankannya kini tetap dia syukuri sebagai pemberian Tuhan.
"Saya jadi pilot itu memang kemauan saya sendiri. Jadi saya senang saja menjalaninya, gak ada beban," bebernya.
"Mungkin beda dengan beberapa teman saya yang terpaksa, karena disuruh keluarganya menjadi pilot," pungkas Bona Septano.