Kisah Susy Susanti, Sosok di Balik Sukses Indonesia di Sudirman Cup 1989

Senin, 13 Mei 2019 | 05:00 WIB
Kisah Susy Susanti, Sosok di Balik Sukses Indonesia di Sudirman Cup 1989
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI yang juga menjabat sebagai Manajer Tim Indonesia di Sudirman Cup 2019, Susy Susanti di Hotel Century, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/5/2019). (Suara.com/Arief Apriadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia baru satu kali meraih gelar juara turnamen beregu campuran Sudirman Cup. Hal itu terjadi pada edisi perdana yang berlangsung di Jakarta pada 1989 silam.

Seperti kisah klise soal perjuangan, akan selalu ada sosok heroik yang dikenang dalam momen keberhasilan itu. Khusus cerita tentang keberhasilan Indonesia merengkuh trofi Sudirman Cup 1989, Susy Susanti merupakan sosok heroik tersebut.

Dalam perhelatan Sudirman Cup 1989, Susy Susanti baru berumur 18 tahun. Namun, ia terpaksa atau lebih tepatnya dipaksa keadaan untuk menjadi aktor utama kala nasib tim Indonesia di partai final berada di ujung tanduk.

Ya, Susy yang merupakan pebulutangkis spesialis tunggal putri harus menanggung beban teramat berat kala Indonesia tertinggal 0-2 dari Korea Selatan di partai puncak. Mau tak mau, atlet kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat itu harus memenangkan laga ketiga untuk menghindari tim Negeri Gingseng berpesta juara.

Baca Juga: Ini Nazar Susy Susanti Jika Indonesia Juara Sudirman Cup 2019

Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI yang juga menjabat sebagai Manajer Tim Indonesia di Sudirman Cup 2019, Susy Susanti di Hotel Century, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/5/2019). (Suara.com/Arief Apriadi)
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI yang juga menjabat sebagai Manajer Tim Indonesia di Sudirman Cup 2019, Susy Susanti di Hotel Century, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/5/2019). (Suara.com/Arief Apriadi)

Jika diposisikan kembali ke momen mendebarkan tersebut, mayoritas pecinta bulutangkis Indonesia mungkin sudah mematikan layar televisi karena tak kuasa melihat Indonesia digasak 0-3 oleh Korea Selatan.

Bukan tanpa alasan, lawan yang dihadapi Susy pada laga ketiga itu adalah Lee Young-suk yang merupakan runner-up World Badminton Grand Prix 1988.

Mimpi buruk akan kekalahan Indonesia di rumah sendiri hampir saja terwujud kala Susy Susanti harus kehilangan game pertama dengan skor 10-12. Sementara di game kedua, Susy juga sempat tertinggal jauh 7-10.

Namun, bagaikan kisah heroik yang biasa tersaji dalam narasi film, Susy Susanti mampu membalikan keadaan. Setelah berbalik menang 12-10 di game kedua, penonton dibuat terpana kala Lee Young-suk digasak habis dengan skor telak 11-0 oleh Susy di game ketiga.

Kemenangan Susy menjadi pembuka jalan bagi wakil-wakil Indonesia lainnya. Tak heran, Eddy Kurniawan dan Eddy Hartono/Verawaty Fajrin pada akhirnya turut menyumbang poin hingga membuat Indonesia berbalik unggul 3-2 dan merengkuh trofi juara.

Baca Juga: Bicara Kartini, Susy Susanti Ajak Perempuan Berani Menggapai Mimpi

Susy Susanti yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI, mengisahkan jika dirinya hanya bermain nothing to loose saat telah tertinggal 7-10 di game kedua.

Istri dari legenda bulutangkis Alan Budikusuma itu hanya berpikir jika poin lawan belum berubah menjadi angka 11, maka kesempatannya untuk menang masih tetap terbuka.

"Yang saya rasakan itu kan masih ada satu poin jadi saya belum kalah. Makannya saya nekat saja bola kemana saja saya kejar. Kerja keras pantang menyerah," tutur Susy Susanti mengisahkan momen magis di Sudirman Cup 1989 di Hotel Century, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/5/2019).

"Saat itu saya tidak mikir strategi apa-apa yang penting bola kena saja sehingga lawan nafsu, dan terburu-buru," sambungnya.

Dalam momen tersudut tersebut, Susy menjelaskan jika para penonton yang hadir di Istora Senayan, Jakarta sudah terlihat kecewa. Bahkan kata Susy, satu persatu pendukung Indonesia mulai meninggalkan bangku penonton.

"Waktu itu (saat saya tertinggal di game kedua--Red) penonton satu gedung sudah keluar. Tapi, begitu poin saya mulai naik, satu persatu penonton mulai berdiri, mulai kembali duduk lagi," beber Susy.

Susy mengakui jika kala itu tak banyak memikirkan soal strategi permainan. Sebagai tunggal putri muda, ia hanya mengandalkan semangat pantang menyerah yang pada akhirnya karakter itu melekat sebagai ciri khasnya di mata pendukung Indonesia.

"Ya itu nothing to lose. Kalau dilihat kan saya (hampir) kalah, tapi kalau menang ya bagus makannya saya usaha dulu," beber peraih medali emas Olimpiade 1992 itu.

"Dahulu, saya kalau main tidak tau strategi apa yang diterapkan. Saya kejar terus saja (bolanya). Seperti Akane dan Nozomi (dua tunggal putri Jepang), bola kemana saja diikuti, sehingga lawan frustasi. Makannya itu mungkin salah satu yang membuat orang bilang saya tidak pernah menyerah," sambungnya.

Susy sendiri berharap kisah perjuangannya dan tim Indonesia di Sudirman Cup 1989 bisa menjadi inspirasi bagi pebulutangkis Indonesia generasi sekarang.

Dengan semangat pantang menyerah, ia berharap tim Indonesia mampu mengulang dan membawa pulang kembali trofi Sudirman Cup yang dalam 30 tahun terakhir melanglang buana ke negara lain.

"Dengan semangat dan motivasi yang kuat, semua yang ada di tim Sudirman Cup untuk bisa memberikan prestasi terbaik untuk Indonesia. Semoga ini berjalan lancar, dan tim kita bisa bawa pulang Piala Sudirman ke Tanah Air," pungkasnya.

Sudirman Cup 2019 sendiri akan berlangsung di Nanning China pada 19-26 Mei 2019 mendatang. Tim Indonesia akan bertolak ke Nanning, China pada Rabu (15/5/2019) dengan menggunakan maskapai Cathay Pacific 718 via Hong Kong, pada pukul 08.15 WIB.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI