Suara.com - Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) akan melayangkan protes terkait aturan baru Federasi Badminton Dunia (BWF) untuk musim 2018-2021.
Seperti diketahui, BWF telah menerapkan dua dari tiga aturan baru antara lain mengenai perubahan service dan kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim.
Isu perubahan regulasi bulutangkis oleh BWF sejatinya sudah menuai kecaman dari banyak pihak sejak mulai diterapkan di awal tahun 2018.
Khusus perubahan kuota minimal jumlah turnamen yang harus diikuti, PBSI menganggap BWF telah dengan sengaja memforsir atlet demi meraup pundi-pundi uang.
Baca Juga: Prancis Open 2018: Kevin / Marcus Kesulitan, Pelatih Tak Khawatir
Pasalnya, kuota minimal 12 turnamen yang harus diikuti atlet dalam satu musim dinilai membuat atlet kelelahan dan rentan cedera. Apalagi, dari 12 turnamen tersebut belum termasuk turnamen besar seperti Kejuaraan Dunia, Asia, Kejuaraan Asia Beregu, Thomas, Uber serta Asian Games 2018.
"Jadi sebetulnya BWF ini aturannya ketat, tapi mau dibawa kemana? Istilahnya harus tampil dan tampil, kasian juga atletnya, tidak bisa di forsir seperti itu," kata Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI, Susy Susanti saat dihubungi wartawan, Jum'at (26/10/2018).
"Kalau terlalu diforsir lalu atletnya cedera kan yang rugi bukan cuma negara tapi juga badminton dunia," imbuhnya.
Sebagai bukti, tunggal putra legendaris Cina, Lin Dan mengakui bahwa kuota minimal 12 turnamen sangat memberatkan dirinya sebagai atlet senior.
Kelelahan pun mulai menghinggapi Lin Dan di beberapa turnamen terakhir jelang berakhirnya rangkaian BWF World Tour. Hal itu terlihat ketika mantan rival Taufik Hidayat itu tak mampu berbuat banyak dan sering kali kandas di babak pertama.
Baca Juga: Tereleminasi dari Prancis Open, Praveen / Melati : Kurang Tahan
Keluhan itu diutarakan Lin Dan usai tersingkir di babak kedua Denmark Open 2018 oleh wakil India, Kidambi Srikanth. Serta di laga pembuka Prancis Open 2018 menghadapi Kazumasa Sakai (Jepang).
"Benar jika BWF mengharuskan atlet memainkan lebih banyak turnamen, mereka memaksa kita terus tampil untuk mengumpulkan poin. Karena itu, terkadang kami tak bisa bermain dengan kualitas terbaik," ungkap Lin Dan seperti dilansir dari Badmintonplanet.
Susy mengatakan, PBSI selaku induk organisasi bulutangkis Indonesia harus melindungi atletnya dari bekapan cidera. Karena itu PBSI disebut Susy akan melakukan rapat besar demi mengumpulkan pendapat seluruh pemain, sebelum akhirnya mengajukan protes kepada BWF.
Menurutnya, hal itu dipandang perlu karena Olimpiade 2020 Tokyo sudah di depan mata. Jadi sudah sepatutnya ada revisi regulasi terkait kuota minimal turnamen agar kondisi fisik para atlet bisa lebih prima dan terjaga.
"Kita bukan cuma akan berdiskusi, tapi kita mau mendengar (pendapat) atlet (pelatnas PBSI) seperti apa (Terkait kuota minimal 12 turnamen). Nanti di akhir rapat besar kita mungkin akan bicarakan juga apakah bakal mengajukan keberatan secara tertulis (ke BWF), gitu kan," ujar Susy.
"Karena saat ini kita kan tengah melakukan persiapan menuju Olimpiade (2020 Tokyo). Kita berharap atlet kita bisa maksimal, kita menjaga betul agar mereka tidak cidera. Mungkin bukan cuma atlet kita saja, semua negara pun juga mengeluhkan hal yang sama," kata Susy.
Lebih lanjut, Susy menilai peraturan kuota minimal 12 turnamen lebih pas diterapkan pada atlet-atlet level junior. Selain membutuhkan banyak jam terbang, kondisi fisik mereka juga dinilai lebih mumpuni.
"Kalau untuk atlet muda, lebih banyak turnamen ya lebih bagus untuk menambah pengalaman dan kematangan. Kalau pemain muda mungkin dengan daya tahan dan kondisi fisik yang masih prima memungkinkan bisa," kata Susy.
"Jadi menurut saya sih kuota minimal turnamen itu 10 lah paling banyak," tukasnya.