"Benar jika BWF mengharuskan atlet memainkan lebih banyak turnamen, mereka memaksa kita terus tampil untuk mengumpulkan poin. Karena itu, terkadang kami tak bisa bermain dengan kualitas terbaik," ungkap Lin Dan seperti dilansir dari Badmintonplanet.
Susy mengatakan, PBSI selaku induk organisasi bulutangkis Indonesia harus melindungi atletnya dari bekapan cidera. Karena itu PBSI disebut Susy akan melakukan rapat besar demi mengumpulkan pendapat seluruh pemain, sebelum akhirnya mengajukan protes kepada BWF.
Menurutnya, hal itu dipandang perlu karena Olimpiade 2020 Tokyo sudah di depan mata. Jadi sudah sepatutnya ada revisi regulasi terkait kuota minimal turnamen agar kondisi fisik para atlet bisa lebih prima dan terjaga.
"Kita bukan cuma akan berdiskusi, tapi kita mau mendengar (pendapat) atlet (pelatnas PBSI) seperti apa (Terkait kuota minimal 12 turnamen). Nanti di akhir rapat besar kita mungkin akan bicarakan juga apakah bakal mengajukan keberatan secara tertulis (ke BWF), gitu kan," ujar Susy.
Baca Juga: Prancis Open 2018: Kevin / Marcus Kesulitan, Pelatih Tak Khawatir
"Karena saat ini kita kan tengah melakukan persiapan menuju Olimpiade (2020 Tokyo). Kita berharap atlet kita bisa maksimal, kita menjaga betul agar mereka tidak cidera. Mungkin bukan cuma atlet kita saja, semua negara pun juga mengeluhkan hal yang sama," kata Susy.
Lebih lanjut, Susy menilai peraturan kuota minimal 12 turnamen lebih pas diterapkan pada atlet-atlet level junior. Selain membutuhkan banyak jam terbang, kondisi fisik mereka juga dinilai lebih mumpuni.
"Kalau untuk atlet muda, lebih banyak turnamen ya lebih bagus untuk menambah pengalaman dan kematangan. Kalau pemain muda mungkin dengan daya tahan dan kondisi fisik yang masih prima memungkinkan bisa," kata Susy.
"Jadi menurut saya sih kuota minimal turnamen itu 10 lah paling banyak," tukasnya.
Baca Juga: Tereleminasi dari Prancis Open, Praveen / Melati : Kurang Tahan