Suara.com - Sejumlah atlet paralayang yang bertanding dalam Open Paragliding Nomoni di Palu, Sulawesi Tengah, tak menyangka kompetisi untuk meraih prestasi itu berakhir menjadi tragedi yang memilukan hati.
Kompetisi yang berlangsung 25-30 September 2018 ini diikuti 34 atlet paralayang dari dalam negeri dan luar negeri.
Namun bencana gempa bumi 7,4 Skala Richter (SR) yang disertai tsunami yang mengguncang Palu pada, Jumat (28/9/2018), membuat kejuaraan terhenti.
Wahyudi Widodo, salah satu atlet paralayang yang selamat, tak henti-hentinya bersyukur lolos menjadi korban musibah tsunami dan gempa Palu.
Baca Juga: Rizal Tambah Kepingan Medali Indonesia di Asian Para Games 2018
Atlet asal Jawa Timur ini tiba bersama rombongan kontingen paralayang dari Jatim di Palu pada, Senin (24/9/2018) malam, atau empat hari sebelum gempa dan tsunami menghancurkan kota setempat.
Ia bersama sejumlah atlet paralayang Jatim menginap di Borneo guest house, yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai, karena keterbatasan dana yang dimiliki.
Sementara, sejumlah atlet yang memiliki uang lebih memilih menginap di Hotel Roa-Roa yang berada di tepi pantai.
Awalnya Wahyudi sempat ingin menginap di Hotel Roa-Roa karena beberapa atlet menginap di sana.
Namun, uang saku yang menipis dan pertimbangan keuangan lainnya, akhirnya dia bersama rekan-rekannya menginap di guest house yang harga sewanya lebih terjangkau.
Baca Juga: Miftahul Didiskualifikasi, Ini Bahaya Kenakan Hijab Bagi Pejudo
Ia tak membayangkan apabila jadi menginap di Hotel Roa-Roa yang kini ambruk akibat gempa.
Bahkan, sebagian atlet paralayang yang menginap di sana tertimbun reruntuhan bangunan hotel dan baru ditemukan beberapa hari kemudian.
"Apabila saat itu saya punya uang banyak dan memilih menginap di Hotel Roa-Roa, mungkin saya sudah tidak punya harapan untuk hidup karena bangunan hotel ambruk dan sebagian penghuni hotel tertimbun di sana," ujarnya, dilansir dari Antara, Selasa (9/10/2018).
Bangunan pada Runtuh
Sebelum gempa terjadi, para atlet paralayang yang menginap di Borneo guest house sedang bersantai.
Saat gempa terjadi, tiba-tiba semua barang-barang bergerak hingga dinding pembatas rumah penginapan itupun ambruk, dan terdengar teriakan di sana-sini.
Getaran gempa yang semakin kuat menyebabkan para atlet yang menginap di Borneo guest house dan warga sekitar sulit untuk berdiri tegak.
Bahkan tidak jarang mereka jatuh berguling-guling akibat getaran yang sangat kuat.
Semuanya panik berhamburan keluar dan lari ke jalan untuk menyelamatkan diri. Sejumlah warga juga ada yang terluka di sepanjang jalan.
Beruntung ada mobil pick-up panitia yang disediakan di sekitar penginapan yang digunakan untuk menyelamatkan diri.
Dengan mobil tersebut, sejumlah atlet paralayang domestik dan luar negeri terus mencari jalan untuk menjauhi laut, karena khawatir gempa tersebut berpotensi tsunami yang bisa "menyapu" semua yang ada di dekat pantai.
Wahyudi mengatakan, tidak mudah mencari jalan untuk menyelamatkan diri karena banyak jalan beraspal yang mengelupas hingga retak.
Tiang listrik roboh di mana-mana, listrik padam hingga gelap gulita, dan reruntuhan bangunan berserakan di mana-mana, bahkan ribuan warga berhamburan di jalanan untuk menyelamatkan diri.
Rombongan atlet paralayang itu juga sempat mengevakuasi anak-anak dan orang lanjut usia (lansia) yang berlarian di jalanan untuk menyelamatkan diri dengan naik mobil tersebut karena terbayang ancaman tsunami, mengingat lokasi mereka tidak jauh dari pantai.
Wahyudi bersama sejumlah atlet paralayang terus mencari lokasi yang dirasa aman untuk istirahat. Mereka sempat berpindah-pindah untuk mencari lokasi yang benar-benar aman.
Dua Atlet Meninggal
Dia sempat meminjam telepon salah seorang warga untuk menghubungi keluarganya, karena sinyal di telepon genggamnya tidak ada.
Keesokanharinya seluruh atlet paralayang yang selamat dievakuasi ke Makassar.
Rekan atlet paralayang yang mengalami luka-luka akibat reruntuhan bangunan mendapat perawatan di Makassar.
Sementara, seluruh atlet paralayang asal Jatim yang selamat diterbangkan ke Bandara Abdurrahman Saleh, Malang, pada Minggu (30/9/2018).
Namun ada dua rekan atlet paralayang Jatim yang menjadi korban, yakni Ardi Kurniawan dan Serda Fahmi Risky yang berkunjung ke Hotel Roa-Roa saat terjadi gempa bumi.
Setelah tubuh korban ditemukan, kedua jenazah baru bisa diterbangkan menuju Malang pada, Sabtu (6/10/2018).
Trauma dan Bersyukur
Wahyudi mengaku masih trauma dengan tsunami dan gempa Palu. Bahkan saat melihat tayangan televisi terkait bencana di sana, ia masih teringat saat kepanikan dan suasana menyelamatkan diri saat gempa bumi.
Parasut dan perlengkapan paralayang para atlet hilang tersapu tsunami dan kabarnya ditemukan pada, Senin (8/10/2018).
Terkait trauma, ia mengaku perlahan-lahan mulai berkurang dan kini lebih mendekatkan diri dengan Allah SWT.
Kengerian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulteng membuat Wahyudi sadar bahwa manusia harus selalu bersyukur apapun kondisinya, karena harta yang melimpah tidak akan berarti ketika ajal menjemput.
"Kejadian gempa bumi yang saya alami seperti kiamat saja. Kemudian saya sadar bahwa harta benda duniawi hanya bersifat sementara. Namun begitu juga sebaliknya, apapun kondisinya saat susah, harus tetap bersyukur karena kita diberi nikmat untuk hidup," ucapnya.
Wahyudi mengaku tidak trauma untuk mengikuti kejuaraan paralayang yang digelar di sejumlah daerah di Indonesia, karena rahasia hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang tahu.
Bersandar pada keyakinan itulah ia menyatakan siap berangkat untuk berkompetisi ketika diberi kesempatan untuk meraih prestasi di sejumlah kejuaraan paralayang.