Suara.com - Tim Indonesia menyampaikan masukan terkait aturan baru batasan tinggi servis 115 cm yang dinilai merugikan pemain. Hal ini disampaikan PBSI lewat Sekjen PP PBSI Achmad Budiharto dan Bambang Roedyanto (Kasubid Hubungan Internasional PP PBSI) dalam manager meeting All England 2018 di Birmingham, Inggris, Rabu (14/3/2018) malam.
Dalam kesempatan ini, kritik yang disampaikan tim Indonesia, mendapat dukungan dari negara-negara lainnya.
Aturan batasan tinggi servis mulai diberlakukan di ajang bulutangkis German Open 2018 BWF World Tour Super 300, pekan lalu.
Sejumlah pemain Indonesia merasa dirugikan akibat servis mereka dinyatakan fault, bahkan ada yang lebih dari sepuluh kali dalam satu game.
Baca Juga: PBSI Rombak Pasangan Ganda Putri, Siapa Saja?
Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi penampilan pemain. Ditambah lagi, belum ada infrastruktur yang memadai, semua penilaian tergantung pada sudut pandang hakim servis dan tak ada alat sensor khusus atau kamera untuk menampilkan ulang servis tersebut, seperti layaknya teknologi hawk eye.
"Ada dua hal yang kami sampaikan. Pertama, aturan ini rasanya jadi aneh karena tidak ada konsistensi. Contohnya, ada yang dari babak awal tidak di-fault, tiba-tiba di final di-fault sampai lima kali. Kalau memang salah, harusnya dari awal," kata Budi, dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Kamis (15/3/2018).
Foto: Sekjen PP PBSI, Achmad Budiharto, usai mengikuti pelantikan pengurus baru PP PBSI periode 2016-2010 yang dilakukan KONI Pusat di Hotel Century, Senayan, Jakarta, Kamis (19/1/2017) [Suara.com/Adie Prasetyo Nugraha]
"Kedua, beberapa pemain kelas dunia, bisa sampai kena fault servisnya lebih dari lima kali. Pasti ini ada yang salah. Tindakan kami didukung oleh tim negara lain yang mereka juga mengalami hal yang sama. Ini sekedar masukan, yang sudah lewat di German Open ya sudah, kan tidak bisa diulang. Jadi, ini antisipasi untuk di All England, jangan sampai merugikan pemain," tambahnya.
Baca Juga: Pemain Indonesia Terindikasi Match Fixing, PBSI: Sudah Di-Banned
"Ada usulan dari beberapa negara untuk menggunakan teknologi, misalnya sinar infra merah, supaya menghindari faktor bias. Masukan ini ditampung oleh penyelenggara turnamen, dan akan dijadikan bahan briefing di turnamen ini," ujar Budi.
Berdasarkan catatan tim ofisial, pemain-pemain Indonesia memang banyak yang dinyatakan gagal melakukan servis selama bertanding di German Open 2018.
Rizki Amelia Pradipta mengalami 11 kali fault di babak pertama, dan dua kali fault di babak kedua.
Foto: Pasangan ganda putri Indonesia, Rizki Amelia Pradipta (kiri) dan Della Destiara Haris, tampil di babak pertama India Open, Rabu (31/1/2018). [Humas PBSI]
Gloria Emanuelle Widjaja servisnya dinyatakan terlalu tinggi sebanyak enam kali saat bertanding di babak pertama, sedangkan pemain ganda putri Anggia Shitta Awanda sebanyak dua kali di babak kedua.
Pemain tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting juga tidak kalah banyak dinyatakan fault servisnya oleh wasit saat bertanding di German Open, yakni lima kali.
Sementara itu, pasangan ganda putra juara dunia 2013 dan 2015, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pun mengalami hal serupa.
Servis Hendra dinyatakan fault sebanyak tiga kali pada babak pertama, dan satu kali di babak kedua. Sedangkan Ahsan, satu kali di babak pertama, dan lebih dari sepuluh kali fault di babak kedua.
Fajar Alfian pun mengalami hal yang sama, servisnya selalu aman dari babak pertama hingga semifinal. Namun ketika bertanding di final, servisnya dinyatakan fault sebanyak lima kali dan ini membawa pengaruh pada penampilannya.
Pada babak kualifikasi, tiga servis Melati Daeva Oktavianti juga dibilang terlalu tinggi. Di babak pertama, servis Melati aman dan tidak satu pun yang dinyatakan salah oleh hakim servis. Namun di babak kedua, ada dua servisnya yang dinyatakan fault.
Melati harus menelan kekecewaan saat 16 kali servisnya dinyatakan fault saat ia bertanding di babak perempat final.