Suara.com - Tragedi yang menimpa petinju Inggris, Scott Westgarth, menambah panjang daftar kelam pertinjuan profesional dunia. Westgarth tewas tidak lama setelah bertarung melawan kompatriotnya, Dec Spelman, Minggu (25/2/2018) pagi waktu setempat.
Westgarth, yang menang angka atas Spelman, kolaps di ruang ganti usai pertarungan yang digelar di Doncaster Dome, Doncaster, Inggris, Sabtu (24/2/2018) malam.
Petinju berusia 31 tahun ini sempat dilarikan ke rumah sakit setempat. Namun, Tuhan berkehendak lain dengan menyabut nyawanya untuk selama-lamanya.
Westgarth menjadi petinju Inggris ketiga yang tewas usai bertarung dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, Nick Blackwell dan Eduard Gutknecht melayang nyawanya usai kalah dari Chris Eubank Jr dan George Groves.
Baca Juga: Headway Serukan Pelarangan Olahraga Tinju Usai Tewasnya Westgarth
Peristiwa kelam yang menimpa Westgarth pun memunculkan kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya dari Badan Amal untuk Cedera Otak, Headway, yang kembali menyerukan pelarangan olahraga tinju.
Menurut pihak Headway, tidak ada cara yang bisa membuat olahraga tinju aman dan tidak merenggut nyawa orang.
"Tidak ada cara untuk membuat tinju aman, dan membiarkan lebih banyak nyawa melayang dengan cara ini, tidak bisa diterima dan sama sekali tidak bertanggung jawab," ujar Kepala Eksekutif Headway, Peter McCabe, dikutip dari Boxing Scene, Rabu (28/2/2018).
Kematian yang menghampiri Scott Westgarth membuat namanya masuk dalam daftar ratusan petinju yang tewas di ring atau usai pertarungan.
Baca Juga: Cari Bibit Baru, Mahkota Promotion Gelar Kejuaraan Tinju MBSS
Foto: Petinju asal Inggris, Scott Westgarth (kiri) bersama sparring partner-nya, Sam Sheedy. [Instagram@scottwestgarthboxing]
Berdasarkan penulusuran Suara.com di situs Wikipedia, tercatat pada Februari 1995 saja sudah hampir 500 petinju yang tewas di dalam ring atau sesudah pertarungan sejak aturan tinju atau yang disebut Marquess of Queensberry Rules diperkenalkan pada tahun 1884.
Berikut rangkuman lima petinju ternama yang tewas di atas ring atau setelah pertarungan, dimana dua diantaranya dari Indonesia:
1. Ed Sanders
Petinju peraih medali emas Olimpiade 1952 asal Amerika Serikat ini tewas pada 12 Desember 1954 di ronde ke-11 saat bertarung melawan Willie James. Dia sempat komplain tentang sakit kepala yang dideritanya sebelum pertarungan.
Sanders yang tewas di usia 24 tahun, terjatuh tak sadarkan diri saat pertarungan. Banyak dokter yang percaya dia sudah cedera sebelum duel dengan James.
2. Benny Paret
Benny "The Kid" Paret adalah petinju kelas welter asal Kuba yang memegang rekor 35 kali menang, 12 seri, dan 3 seri. Pada 24 Maret 1962, Paret bertarung 12 ronde melawan Emile Griffith.
Pertarungan berakhir setelah Paret langsung koma setelah menerima 29 pukulan beruntun. Dia meninggal 10 hari kemudian di rumah sakit.
3. James Murray
Petinju asal Skotlandia ini tewas dua hari setelah pertarungan perebutan sabuk kelas bantam BBBofC Inggris melawan Drew Docherty, 13 Oktober 1995.
James Murray meninggal di rumah sakit di Glasgow, Skotlandia, 15 Oktober 1995, akibat pendarahan di otak setelah terjatuh di ring dan mengalami kejang-kejang.
4. Muhammad Alfaridzi
Meninggalnya Muhammad Alfaridzi menjadi salah satu pukulan telak bagi dunia tinju profesional di Tanah Air. Pemegang rekor tanding 15 menang dan 4 kalah kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini merupakan mantan juara nasional kelas bulu.
Alfaridzi meninggal setelah tiga hari koma akibat cedera di otaknya setelah dipukul KO pada ronde ke-8 oleh Khongtawat Sorkiti dari Thailand pada pertandingan 30 Maret 2001 di Jakarta.
5. Muhammad Afrizal Cotto
Afrizal mencatatkan 28 pertarungan selama karier tinju profesionalnya; 20 kali menang (11 diantaranya menang KO), 7 kali kalah, dan sekali seri.
Pertarungan terakhirnya adalah melawan sesama petinju Indonesia, Irvan Marbun, 31 Maret 2012. Dalam duel perebutan sabuk kelas bulu super nasional itu, Afrizal kalah dalam pertarungan yang berlangsung 12 ronde di Studio Indosiar, Jakarta.
Sejam setelah pertarungan Afrizal mulai muntah-muntah dan terjatuh tak sadarkan diri lantaran cedera di otak.
Dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Royal, Jakarta, sebelum dipindahkan ke Rumah Sakit UKI, Cawang. Empat hari setelah operasi untuk mengeluarkan gumpalan darah di otak, Afrizal menghembuskan napas terakhirnya.