Suara.com - Kamis, 28 November 1996, menjadi salah satu momen paling bersejarah dan tak terlupakan dalam hidup pendekar silat asal Indonesia, Yuli Purwanto. Ditanggal itulah lelaki paruh baya ini memulai tantangannya membumikan pencak silat di Jepang.
Jalan terjal sudah barang pasti ditemui Yuli dalam menyebarkan seni bela diri asli Indonesia di Negeri Sakura. Kurangnya promosi dan kalah populer dari Judo, seni bela diri asli Jepang, menjadi hambatan utama yang harus dihadapi lelaki yang akrab disapa Yuli ini dalam program pengenalan pencak silat.
Namun, dua faktor itu tak membuat Yuli putus asa. Dengan penuh kesabaran dan tekad bulat, lelaki kelahiran Yogyakarta, 17 Juli 1961, terus aktif melakukan pendekatan kepada warga Jepang yang mau belajar seni bela diri pencak silat.
"Tantangan terbesar pencak silat di Jepang itu susahnya mencari anggota. Saya melakukan pendekatan personal, berbicara dengan warga Jepang, lalu mengajak mereka belajar pencak silat," kata Yuli, ditemui Suara.com usai mendampingi muridnya, Daisuke Osa, mengikuti pertandingan pencak silat test event Asian Games 2018 di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini, Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Perkembangan pencak silat di Jepang dibilang stagnatis juga tidak. Ada perkembangan, tapi step by step. Tentunya tidak sepesat di Indonesia," sambung pendekar silat dari perguruan Merpati Putih.
Lebih dari 21 tahun sudah Yuli mengembangkan pencak silat di Jepang dan menjadi anggota Federasi Pencak Silat Jepang (Japsa).
Salah satu buah kerja kerasnya adalah mengantarkan seorang muridnya yang dipercaya menjadi stuntman dalam serial sinetron super hero "BIMA Satria Garuda" yang pernah menghiasi layar kaca Tanah Air pada medio 2013.
"Ada anggota kami—Japsa—yang jadi stuntman dalam sinetron 'BIMA Satria Garuda'. Dia yang berada di balik topeng ksatria tersebut. Dia asli orang Jepang," tutur Yuli.
Karena pencak silat pulalah Yuli menemukan tambatan hati dan jodohnya, Kiyomiya Fumie. Perempuan asli Jepang ini tidak lain mantan anak didiknya. Dari hasil pernikahan keduanya, mereka telah dikarunia seorang putri yang diberi nama Kiyomiya Purwanto Mahisa Ayu Ramadhani.
Bak pepatah "Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya", Mahisa Ayu yang kini telah beranjak remaja, 14 tahun, memiliki bakat sang ayah sebagai pesilat.
Bahkan, Mahisa Ayu telah menunjukkan potensinya sebagai pesilat andal. Salah satu prestasinya, saat meraih medali emas kejuaraan pencak silat Pakubumi Cup di Bandung pada tahun 2016.
Yuli pun bersyukur dikarunia istri dan anak yang mendukung penuh langkahnya dalam mengembangkan pencak silat di negara yang juga dikenal dengan sebutan Negeri Matahari Terbit.
"Terkadang ketika jalan-jalan dengan keluarga, justru istri saya yang mempromosikan ke warga Jepang kalau suaminya ini guru pencak silat," ujar Yuli yang kini menjadi salah satu staf KBRI di Jepang.
"Lalu orang yang ditawari itu bertanya pencak silat seperti apa? Ya, saya berikan jawaban dan contoh yang simple saja. Seperti di jujutsu—seni bela diri asli Jepang—misalnya ada kuncian, dalam pencak silat juga ada," tutur Yuli, sembari mencontohkan teknik gerakan kuncian tangan kepada Suara.com.
"Terkadang kami di Japsa juga membuat workshop pencak silat. Saya sendiri membuat gerakan tari pencak silat saat pementasan. Saya merancang gerakan pencak silat ketek (monyet—red)," sambungnya.
Ke depan, Yuli sangat berharap pencak silat bisa lebih pesat kemajuannya di Jepang. Sebab, dia hanya bisa mewariskan seni bela diri ini lantaran menyadari tak selamanya akan hidup jauh dari kampung halaman tercinta.
"Suatu saat nanti saya pasti akan pulang ke Indonesia. Untuk itu saya menekankan kepada para atlet, termasuk Daisuke ini, agar serius berlatih demi bisa meraih prestasi. Prestasi itu bukan untuk ego sendiri, perguruan, atau Japsa, tapi ini demi Jepang. Itulah yang saya tekankan dan pesankan kepada setiap pesilat di Japsa," pungkasnya.