Jangan Buru-Buru Menikah Kalau Cuma Mau Kaya! Ini Fakta Rezeki Pernikahan Menurut Islam

Sabtu, 15 Maret 2025 | 14:53 WIB
Jangan Buru-Buru Menikah Kalau Cuma Mau Kaya! Ini Fakta Rezeki Pernikahan Menurut Islam
Ilustrasi menikah. Alasan menikah membuka pintu rejeki jadi perdebatan. (Pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menikah adalah fase penting dalam kehidupan seseorang yang sering dikaitkan dengan berbagai konsekuensi, baik dalam aspek sosial, psikologis, maupun ekonomi. Namun alasan buru-buru menikah yang tidak tepat terkadang akan memperburuk keadaan. 

Salah satu keyakinan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa menikah dapat membuka pintu rezeki.Kepercayaan ini tidak hanya berakar dalam budaya dan tradisi, tetapi juga didukung oleh berbagai perspektif, mulai dari agama, psikologi, hingga ekonomi.

Dalam ajaran Islam, menikah dianggap sebagai sunnah yang membawa banyak keberkahan. Beberapa ayat dalam Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah akan memberikan kecukupan rezeki bagi pasangan yang menikah.

Salah satunya terdapat dalam Surah An-Nur ayat 32, yang menyebutkan bahwa orang yang menikah akan diberikan kecukupan oleh Allah dari karunia-Nya.

Dalam Surat An-Nur ayat 32, dikutip dari NU Onliie Allah berfirman:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ۝٣٢

Artinya:"Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Sekilas, ayat ini tampak seperti janji bahwa menikah pasti membawa rezeki dan akan kaya. Tapi mari kita lihat penjelasan ulama Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, menjelaskan bahwa ayat ini bukan janji Allah bahwa setiap orang yang menikah akan menjadi kaya.

Makna yang lebih tepat adalah: janganlah kalian melihat kemiskinan orang yang melamar kepada kalian atau kemiskinan orang yang ingin kalian nikahkan, karena dalam karunia Allah terdapat kecukupan bagi mereka. Harta itu datang dan pergi, dan kemiskinan bukanlah penghalang untuk memiliki keinginan menikah.

Baca Juga: Ditolak Berkali-kali, Pria Jepang Buktikan Cinta Sejatinya pada Ibu Teman Sekelas yang 21 Tahun Lebih Tua

الْأَصَحُّ أَنَّ هَذَا لَيْسَ وَعْدًا مِنَ اللَّه تَعَالَى بِإِغْنَاءِ مَنْ يَتَزَوَّجُ. بَلِ الْمَعْنَى لَا تَنْظُرُوا إِلَى فَقْرِ مَنْ يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ أَوْ فَقَرِ مَنْ تُرِيدُونَ تَزْوِيجَهَا فَفِي فَضْلِ اللَّه مَا يُغْنِيهِمْ، وَالْمَالُ غَادٍ وَرَائِحٌ، وَلَيْسَ فِي الْفَقْرِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الرَّغْبَةِ فِي النِّكَاحِ، فَهَذَا مَعْنًى صَحِيحٌ وَلَيْسَ فِيهِ أَنَّ الْكَلَامَ قُصِدَ بِهِ وَعْدُ الْغِنَى حَتَّى لَا يَجُوزَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ خُلْفٌ

Artinya: "Pendapat yang lebih benar adalah bahwa ayat ini bukanlah janji dari Allah Ta’ala untuk menjadikan orang yang menikah menjadi kaya. Namun, maknanya adalah: Janganlah kalian melihat kemiskinan seseorang yang melamar kepada kalian atau kemiskinan seseorang yang ingin kalian nikahkan. Sebab, dalam karunia Allah terdapat kecukupan bagi mereka. Harta itu datang dan pergi, dan kemiskinan bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk berkeinginan menikah. Ini adalah makna yang benar, dan tidak berarti bahwa ayat ini mengandung janji pasti tentang kekayaan sehingga mustahil terjadi sebaliknya." (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1420 H] Jilid XXIII, hlm. 371).

Kemudian, jika ada yang bertanya, kata Imam Fakhruddin Ar-Razi, “Mengapa kita melihat ada orang yang kaya lalu menikah, tetapi kemudian menjadi miskin?”

Jawabannya adalah sebagai berikut, sejatinya janji ini bergantung pada kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya:

وَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۝٢

Artinya, "Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (QS At-Taubah: 28)

Ayat yang bersifat mutlak harus dipahami dalam konteks ayat yang bersifat terbatas atau bersyarat. Ayat ini mengajarkan bahwa Allah berkuasa penuh dalam menentukan rezeki setiap hamba.

Menikah tidak selalu menjamin kelapangan rezeki, karena semuanya bergantung pada ketetapan Allah.

Ada kalanya, seseorang justru diuji dengan keterbatasan harta setelah menikah, sebagai bagian dari hikmah yang lebih besar, seperti melatih kesabaran dan menguatkan iman.

Lebih lanjut, kekayaan dalam ayat ini tidak hanya berarti harta, tetapi juga mencakup kehormatan dan kesucian diri.

Dengan menikah, seseorang bisa mendapatkan kekayaan batin, seperti terhindar dari perbuatan yang dilarang, misalnya zina.

Jadi, meskipun secara materi seseorang mengalami kesulitan setelah menikah, ia tetap mendapatkan keberkahan lain, seperti ketenangan jiwa dan penjagaan terhadap nilai-nilai moral. Karena itu, kita harus memahami rezeki sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah yang lebih luas.

Selain itu, dalam hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan bahwa menikah merupakan bagian dari menyempurnakan agama seseorang. Dengan adanya pernikahan, seseorang lebih fokus dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar, sehingga memotivasi mereka untuk bekerja lebih keras dan mendapatkan rezeki yang lebih banyak.

Aspek Psikologi: Motivasi dan Produktivitas

Dari perspektif psikologi, menikah dapat memberikan dorongan motivasi bagi individu untuk lebih giat dalam bekerja. Tanggung jawab terhadap pasangan dan keluarga yang baru dibangun mendorong seseorang untuk lebih produktif dan berusaha meningkatkan taraf hidup.

Selain itu, pernikahan juga memberikan dukungan emosional yang lebih stabil. Pasangan yang memiliki hubungan harmonis cenderung lebih bahagia, dan kondisi psikologis yang baik sering kali berpengaruh positif terhadap kinerja seseorang di tempat kerja maupun dalam menjalankan usaha.

Sudut Pandang Ekonomi: Efisiensi dan Kolaborasi

Secara ekonomi, menikah dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan keuangan. Dengan adanya dua sumber penghasilan, pasangan yang menikah dapat berbagi tanggung jawab finansial, mengurangi beban biaya hidup, dan bahkan membuka peluang investasi bersama.

Dalam dunia usaha, banyak pasangan yang sukses membangun bisnis bersama. Kemitraan dalam pernikahan sering kali menciptakan kombinasi keterampilan dan strategi yang lebih baik, sehingga peluang untuk meningkatkan pendapatan juga semakin besar.

Faktor Sosial dan Jaringan Relasi

Menikah juga membuka peluang untuk memperluas jaringan sosial. Dengan adanya keluarga besar dari kedua belah pihak, seseorang memiliki kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak informasi, peluang kerja, atau dukungan dalam menjalankan bisnis. Jaringan sosial yang luas dapat menjadi sumber rezeki tak terduga, baik dalam bentuk peluang kerja, investasi, maupun bantuan dalam situasi sulit.

Mitos bahwa menikah membawa rezeki bukanlah sekadar kepercayaan tanpa dasar. Dari berbagai perspektif, baik agama, psikologi, ekonomi, maupun sosial, pernikahan memang dapat membuka peluang baru yang berkontribusi pada peningkatan rezeki seseorang.

Namun, hal ini tetap bergantung pada usaha individu dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan produktif. Menikah bukanlah jaminan otomatis untuk mendapatkan rezeki lebih banyak, tetapi dengan sikap yang tepat, kerja keras, dan keberkahan yang menyertainya, pernikahan bisa menjadi salah satu faktor yang membawa kesuksesan dalam kehidupan seseorang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI