Suara.com - Di sebuah kampung yang tak begitu besar, hiduplah seorang lelaki yang sudah terkenal karena kebiasaannya mabuk-mabukan.
Setiap hari, entah siang atau malam, ia selalu dalam keadaan teler.
Namanya sering disebut-sebut warga, tapi bukan dalam doa kebaikan, melainkan dalam keluhan dan cibiran.
Ulama sufi yang tinggal di kampung itu sudah berkali-kali menasihatinya agar segera bertaubat, namun semua nasihat itu seakan angin lalu.
Mengutip dari kisah yang diceritakan Hosiyanto Ilyas di NU Online, suatu hari, lelaki itu menghadiri sebuah majelis dzikir.
Entah karena ajakan teman atau sekadar iseng, ia datang dan duduk di antara para jamaah.
Saat itu, penceramah dengan penuh semangat mengajak para hadirin untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan suara lantang.
"Barangsiapa bershalawat kepada Nabi dengan suara yang tinggi, maka wajib baginya masuk surga!" kata sang penceramah.
Jamaah pun serempak melantunkan shalawat dengan penuh kekhusyukan. Suasana menjadi syahdu, menggema ke seluruh ruangan.
Baca Juga: Iftar Mewah di Menteng: Cicipi Warisan Kuliner Nusantara di Hotel Bintang 5 Ini
Lelaki pemabuk itu, yang biasanya jauh dari ibadah, ikut-ikutan mengangkat suaranya.
Mungkin karena suasana yang begitu menggugah, atau mungkin karena ia merasa tak ingin menjadi satu-satunya yang diam di tempat itu.
Satu kalimat shalawat ia lantunkan dengan suara yang tak kalah lantang.
Hari-hari berlalu, dan kebiasaannya tak berubah. Ia masih tenggelam dalam dunianya yang penuh mabuk-mabukan.
Hingga akhirnya, ajal menjemputnya dalam keadaan yang tidak banyak orang sangka.
Warga kampung yang mengetahui kebiasaannya tak banyak yang merasa kehilangan.
Mereka menganggapnya sebagai lelaki yang tak membawa manfaat semasa hidupnya.
Namun, suatu malam, ulama sufi yang dulu sering menasihatinya mendapatkan mimpi yang mengubah pandangannya.
Dalam mimpinya, ia melihat lelaki pemabuk itu berada di surga, mengenakan pakaian yang indah dan bersinar.
Terkejut, sang ulama bertanya, "Bagaimana mungkin engkau berada di sini? Apa amalan yang membuatmu mendapatkan derajat setinggi ini?"
Dengan senyum tenang, lelaki itu menjawab, "Suatu hari aku menghadiri majelis dzikir, dan aku mendengar penceramah berkata, 'Barangsiapa bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan suara yang tinggi, maka wajib baginya masuk surga.' Aku pun mengikuti jamaah yang melantunkan shalawat dengan suara lantang. Karena jamaah itu diampuni dosa-dosanya, aku yang berada di antara mereka pun turut mendapat ampunan. Itulah sebabnya Allah menempatkanku di tempat ini."
Mendengar jawaban itu, sang ulama tersentak. Betapa besar rahmat Allah!
Bahkan seseorang yang sepanjang hidupnya bergelimang dosa pun bisa mendapatkan syafaat hanya karena satu kali bershalawat dengan hati yang terbuka.
Pagi harinya, ulama sufi itu segera menceritakan mimpinya kepada masyarakat.
Kisah ini menjadi perbincangan di kampung, mengajarkan mereka untuk tidak mudah menghakimi seseorang dan betapa besarnya keberkahan bershalawat.
Sejak saat itu, banyak warga yang lebih sering melantunkan shalawat, berharap mendapatkan rahmat yang sama.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang pujangga Arab, "Sungguh beruntung orang yang bershalawat kepada Nabi, karena sesungguhnya dalam hal itu mengandung hasrat untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi."
Di bulan Ramadan yang penuh keberkahan ini, kisah lelaki pemabuk itu menjadi pengingat bagi kita semua.
Bahwa seberat apa pun dosa yang pernah kita lakukan, pintu ampunan Allah selalu terbuka.
Dan mungkin, dalam satu shalawat yang kita lantunkan dengan tulus, ada syafaat yang kelak menuntun kita ke surga.