Suara.com - Mandi wajib atau mandi besar atau mandi junub dalam ajaran Islam adalah proses pembersihan diri secara menyeluruh yang wajib dilakukan untuk menghilangkan hadas besar.
Hadas besar adalah kondisi tidak suci yang menyebabkan seseorang tidak boleh melaksanakan ibadah tertentu, seperti salat, membaca Al-Qur'an, atau tawaf, hingga ia bersuci dengan mandi wajib.
Dalam ajaran Islam, mandi wajib (mandi besar atau mandi junub) diperlukan untuk mensucikan diri dari hadas besar, seperti setelah berhubungan suami istri, keluar mani, atau setelah haid dan nifas bagi wanita.
Lantas seperti apa hukum mandi wajib di siang hari saat puasa Ramadan?
Secara umum, mandi wajib di siang hari saat puasa Ramadan tidak membatalkan puasa, asalkan dilakukan dengan benar dan tidak ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui lubang seperti mulut atau hidung (misalnya, menelan air secara sengaja).
Puasa tetap sah karena mandi wajib adalah bagian dari menjaga kesucian, yang justru dianjurkan dalam Islam, terutama di bulan Ramadan.
Namun, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan:
1. Niat Puasa Tetap Sah
Jika seseorang dalam keadaan junub (misalnya karena mimpi basah atau hubungan suami istri sebelum subuh) dan belum sempat mandi wajib sebelum waktu subuh, puasanya tetap sah selama niat puasa telah dilakukan.
Mandi wajib bisa dilakukan setelah subuh atau di siang hari. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ummu Salamah, bahwa Rasulullah SAW pernah dalam keadaan junub saat fajar tiba, lalu beliau mandi dan tetap berpuasa.
2. Waktu Mandi
Meskipun boleh mandi wajib di siang hari, lebih utama untuk segera mandi setelah terjadinya hadas besar agar bisa menjalankan ibadah lain (seperti salat) dalam keadaan suci.
3. Hati-hati saat Mandi
Saat mandi wajib di siang hari Ramadan, pastikan tidak ada air yang masuk ke dalam tenggorokan atau hidung secara sengaja, karena itu bisa membatalkan puasa.
Jadi, hukumnya boleh dan puasa tetap sah, selama tidak melanggar syarat pembatal puasa.
Dilansir dari NU Online, dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah XVI/55 dari kitab Mughni, Muhadzzab, bahwa hukumnya boleh dan sah meskipun belum mandi junub, karena syarat puasa tidak ada ketentuan harus suci dari hadats kecil maupun besar, begitu pula belum mandi junub bukan perkara yang membatalkan puasa.
يَصِحُّ مِنْ الْجُنُبِ أَدَاءُ الصَّوْمِ بِأَنْ يُصْبِحَ صَائِمًا قَبْل أَنْ يَغْتَسِل فَإِنَّ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ قَالَتَا : نَشْهَدُ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أِنْ كَانَ لِيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَغْتَسِل ثُمَّ يَصُومُ
Artinya: Berpuasa hukumnya sah bagi orang junub yang memasuki shubuh sebelum melakukan mandi besar karena Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ dengan istrinya, kemudian ia mandi dan berpuasa (Hadits Riwayat Bukhari 4/153).
Kendati tetap sah berpuasa meski masih junub bukan berarti ibadah puasa tidak mempedulikan kebersihan dan kesucian, sebab tidak mungkin orang yang junub tidak segera mandi ketika memasuki waktu subuh.
Artinya, orang yang junub akan bergegas mandi besar karena harus melakukan ibadah shalat Subuh, dan syarat shalat subuh harus suci dari dua hadas.