Suara.com - Menjelang Ramadan, banyak umat Muslim mempertanyakan kewajiban membayar fidyah atas hutang puasa yang belum terlunasi dari bulan Ramadan sebelumnya.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah seseorang yang telah membayar fidyah namun belum melunasi seluruh qadha puasanya, tetap harus membayar lagi saat memasuki Ramadan berikutnya?
Mengutip ulasan dari laman NU Online, bagi seseorang yang meninggalkan puasa Ramadan karena uzur atau alasan tertentu, Islam memberikan ketentuan untuk menggantinya dengan qadha puasa di luar bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 184 yang artinya:
"...Maka siapa saja di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.."
Jika seseorang menunda qadha puasa hingga datang Ramadan berikutnya tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia wajib membayar fidyah sebagai denda. Fidyah ini berupa pemberian makanan kepada fakir miskin, yang dalam jumlahnya setara dengan 1 mud (sekitar 7 ons beras) per hari puasa yang belum dilunasi.
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Minhajuth Thalibin, seseorang yang belum melunasi qadha puasa hingga melewati Ramadan berikutnya wajib membayar fidyah lagi.
Fidyah ini akan terus bertambah setiap tahunnya jika utang puasa tidak juga dilunasi. Misalnya, seseorang memiliki utang puasa 10 hari sejak tahun 1444 H dan baru melunasi 4 hari pada tahun 1446 H, maka ia masih memiliki sisa 6 hari yang harus diqadha.
Jika hingga Ramadan 1447 H utang tersebut belum selesai, maka ia harus membayar fidyah tambahan untuk 6 hari yang tersisa.
Namun, perlu diingat bahwa fidyah bukan pengganti qadha puasa. Seseorang tetap wajib menunaikan puasa yang tertinggal meskipun telah membayar fidyah.
Waktu yang Tepat Membayar Fidyah
Pembayaran fidyah sebaiknya dilakukan setelah Ramadan berikutnya dimulai, karena jumlah pasti utang puasa baru dapat dihitung setelahnya. Oleh karena itu, membayar fidyah sebelum masuk Ramadan tidak dianjurkan, kecuali dalam kondisi tertentu yang dibenarkan oleh syariat.