Suara.com - Baru-baru ini ramai jadi perbincangan seorang transgender melakukan ibadah umroh. Hal ini pun lantas menimbulkan tanya, apa boleh transgender umroh dan haji? Berikut ini penjelasannya.
Sebelumnya diberitakan, seorang trangender bernama Isa Zega menunaikan ibadah umroh. Hal ini diketahui dari unggahan di akun media sosial pribadinya. Dalam unggahannya, Ia tampak mengenakan pakaian seperti wanita di Tanah Suci.
Mufti Anam seorang anggota DPR RI pun turut mengecam aksi selebgram Isa Zega tersebut. Ia meyakini bahwa Isa adalah seorang transgender sehingga perbuatannya dinilai sebagai bentuk pelecehan agama.
"Umrah adalah ibadah yang harus dilakukan sesuai syariat, termasuk mengenakan pakaian ihram bagi laki-laki. Jangan jadikan ibadah sebagai ajang kontroversi. Mari saling menghormati dan belajar lebih bijak," tulis Mufti di akun Instagramnya pada Selasa (19/11/2024).
Mufti juga menyampaikan, meskipun wujudnya sudah diubah menjadi seorang perempuan, namun Isa Zega tetaplah seorang lelaki. Oleh karena itu, Isa Zega semestinya beribadah sesuai tata cara laki-laki.
Mengenai ramainya perbincangan tentang seorang transgender yang melakukan ibadah umroh dengan tata cara perempuan, lantas muncul pertanyaan apa boleh transgender umroh dan haji? Simak penjelasannya berikut ini.
Apa Boleh Transgender Umroh dan Haji?
Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji dan umrah diatur dengan ketat, terutama terkait dengan aturan-aturan identitas gender dan status sosial seseorang. Berikut adalah beberapa pandangan dan pertimbangan transgender beribadah umroh.
1. Status Transgender dalam Islam
Terkait identitas transgender, pandangan ulama berbeda-beda mengenai transgender beribadah umroh dan haji. Beberapa ulama berpendapat bahwa seorang transgender harus mengikuti ketentuan hukum berdasarkan jenis kelamin biologisnya.
Baca Juga: MUI Sentil Keras Isa Zega yang Umrah Pakai Hijab: Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status dalam Islam!
Ada juga ulama yang berpendapat jika seorang transgender telah menjalani operasi kelamin baru, mereka seharusnya diperlakukan berdasarkan identitas gender yang baru tersebut dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks ibadah.