Suara.com - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan bahwa penggunaan istilah mualaf untuk menyebut orang yang berpindah agama ke Islam, perlu didefinisikan ulang. Hal itu dilakukan untuk memperjelas pemahaman tentang status keagamaan tersebut.
“Dalam surat At-Taubah ayat 60, istilah mualaf merujuk pada mereka yang hatinya mudah dibujuk atau dibimbing ke arah kebaikan,” jelas Abdul Mu’ti, dikutip dari website resmi Muhammadiyah, Jumat (15/11/2024).
Abdul Mu’ti mengacu pada Fatwa Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 4 yang menjelaskan bahwa tidak semua orang yang disebut mualaf harus menyandang predikat tersebut seumur hidup.
Dengan demikian, mereka yang telah memiliki iman kokoh tidak selayaknya terus disebut mualaf.
Abdul Mu’ti juga menyoroti bahwa status mualaf sering kali dikaitkan dengan hak menerima zakat.
“Kalau dia terus menjadi mualaf, maka akan terus berhak menerima zakat, padahal dia sudah kaya raya,” kata Mu’ti.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah mualaf perlu dipahami lebih mendalam dan disesuaikan dengan konteks keagamaan.
Menurutnya, makna mualaf bukan sekadar bagi mereka yang baru masuk Islam, tetapi bisa mencakup umat Islam sejak lahir yang kurang memahami Islam dengan baik.
Istilah ini dapat meluas pada individu yang membutuhkan bimbingan agar hatinya tetap teguh dalam keimanan, sebagaimana diungkapkan dalam pemaknaan “qulubuhum” (hati) dalam surat At-Taubah ayat 60.
Sebagai upaya mendukung pemahaman ini, Muhammadiyah memberikan pembinaan bagi kelompok mualaf guna memperkuat keyakinan mereka dalam Islam melalui pendekatan sosial dan spiritual.