Suara.com - Muhammadiyah membuka peluang bagi non Muslim terlibat aktif mengajar di sekolah atau lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sebab, dari segi muamalah, tidak ada larangan bagi non Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah yang dinaungi organisasi Islam tersebut.
Sekolah Muhammadiyah tidak hanya fokus pada pendidikan akademik tetapi juga menjadi sarana dakwah yang komprehensif. Civitas akademika Muhammadiyah diharapkan mampu menjadi teladan kebaikan bagi guru-guru non-Muslim, hingga mewujudkan nilai-nilai dakwah bil-hal melalui tindakan nyata.
Meski begitu, mengutip situs resmi Muhammadiyah, ada beberapa hal tetap perlu diperhatikan demi menjaga identitas dan misi dakwah lembaga pendidikan Muhammadiyah. Aturan khusus untuk pengajar non Muslim antara lain:
1. Aturan Pakaian
Guru non Muslim, khususnya wanita, hendaknya berpakaian sopan dan tertutup, meskipun tidak diwajibkan berjilbab. Aturan ini bisa disampaikan sejak awal agar kedua belah pihak merasa nyaman.
2. Identitas Keagamaan
Penggunaan atribut keagamaan seperti kalung salib atau simbol-simbol non Islam lainnya, sebaiknya dibatasi untuk menjaga kenyamanan dan citra lembaga sebagai bagian dari pendidikan Islam.
3. Materi Pembelajaran
Guru non Muslim sebaiknya mengajar mata pelajaran umum seperti matematika, sains, atau keterampilan, tanpa masuk ke wilayah yang berkaitan dengan akidah atau ibadah.
4. Evaluasi dan Pembinaan
Jika ada hal yang tidak sesuai dengan misi dan visi Muhammadiyah, evaluasi serta pembinaan secara berkala bisa diterapkan agar tetap selaras dengan tujuan dakwah Muhammadiyah.
Komitmen Muhammadiyah Terbuka untuk Semua
Muhammadiyah sejak awal dikenal sebagai organisasi yang membuka akses pendidikan bagi masyarakat luas tanpa membedakan latar belakang agama.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang meliputi jenjang dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, memberikan kontribusi besar dalam memberikan kesempatan belajar bagi siswa dan mahasiswa non Muslim, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Di berbagai wilayah di Indonesia, Muhammadiyah memiliki lembaga pendidikan di daerah mayoritas non Muslim. Misalnya saja Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur, yang mencatat kehadiran mahasiswa non Muslim yang signifikan. Bahkan di beberapa kampus Muhammadiyah, mahasiswa non Muslim lebih dari 70 persen.
Tidak hanya terbatas pada siswa, namun tenaga pendidik non Muslim juga mendapat kepercayaan di lingkungan Muhammadiyah. Di sejumlah PTM, kehadiran dosen non Muslim menjadi hal yang biasa. Mereka berperan sebagai tenaga pengajar, pemateri seminar, dan narasumber dalam berbagai lokakarya akademik.
Para dosen ini tidak diharuskan mengenakan atribut Islami seperti busana muslimah, mencerminkan komitmen Muhammadiyah dalam menghormati perbedaan sembari tetap menjaga identitas lembaga.
Dalam Islam, konsep muamalah dengan non Muslim dibenarkan selama tidak melanggar prinsip agama dan membawa manfaat bersama. Bahkan Rasulullah SAW tercatat dalam sejarah pernah menjalin interaksi sosial dengan non Muslim.
Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjaminkan baju besinya, menunjukkan bahwa kerja sama dengan non-Muslim untuk keperluan di luar ibadah diperbolehkan dalam Islam.
Selain itu, Al-Qur'an juga menegaskan sikap toleransi dan keterbukaan terhadap non-Muslim dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8, yang menekankan bahwa hubungan baik dapat dibangun selama tidak ada permusuhan terhadap umat Islam.
Prinsip ini menjadi salah satu dasar Muhammadiyah untuk terus mengakomodasi kehadiran siswa, mahasiswa, dan tenaga pengajar dari kalangan non-Muslim, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dakwah.