Suara.com - Pernikahan yang digelar secara Islam, harus memenuhi beberapa rukun nikah. Salah satunya adalah yang dinamakan mahar atau mas kawin.
Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri dalam proses pernikahan. Mahar tidak harus selalu dalam bentuk uang atau barang.
Namun lazimnya memang mahar yang diberikan biasanya berupa uang atau barang. Mengenai bentuk mahar yang diberikan, akan diucapkan dalam ijab kabul.
Kebanyakan ketika mengucapkan ijab kabul, mahar yang diberikan biasanya sudah tunai. Lalu bagaimana jika maharnya utang? Apakah ini diperkenankan dalam Islam?
Dikutip dari website Kemenag.go.id, Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni jilid VIII, halaman 22, bahwa mahar itu statusnya bisa disegerakan dan boleh juga ditunda sesuai kesepakatan antara suami dan istri atau antara suami dan wali istri.
Dengan demikian, seorang suami diperbolehkan maharnya dicicil pembayarannya, dengan syarat harus persetujuan istri.
ويجوز أن يكون الصداق معجلا ومؤجلا وبعضه معجلا وبعضه مؤجلا لأنه عوض في معاوضة فجاز ذلك فيه كالثمن
"Mahar boleh disegerakan dan boleh ditunda. Boleh juga sebagian disegerakan, dan sebagian ditunda. Karena mahar termasuk bayaran dalam akad muawadhah (imbal-balik), sehingga boleh disegerakan atau ditunda, seperti harga."
Ustaz Ahmad Sarwat LC mengutarakan,jangka waktu pembayaran utang mahar tidak punya masa yang baku.
Baca Juga: Bos Kapuas Prima Coal (ZINC) Buka Suara Soal Gagal Bayar Utang: Kondisi Keuangan Tidak Memungkinkan
"Semua bergantung pada kesepakatan antara suami dan istri. Bisa saja setahun, lima tahun, sepuluh tahun bahkan sepanjang hayat hingga wafat. Maka utang itu menjadi tanggungan ahli warisnya," kata Ustaz Ahmad Sarwat dikutip dari website Rumah Fiqih Indonesia.