Suara.com - Seorang mempelai perempuan yang akan menikah harus dihadiri wali nikah. Wali nikah seorang perempuan berdasarkan nasab atau keturunan.
Dalam agama Islam ada urutan mengenai siapa saja yang berhak menjadi wali nikah perempuan. Yang pertama tentu adalah ayah kandungnya.
Jika ayah kandungnya sudah tiada atau tidak bisa menjadi wali nikah, maka urutan selanjutnya adalah kakek dari mempelai perempuan. Berikut urutan wali nikah perempuan:
1. Ayah kandung
2. Kakek, atau ayah dari ayah
3. Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
4. Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah saja
5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7. Saudara laki-laki ayah
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Baca Juga: Sinopsis Pernikahan Arwah, Film Horor Terbaru Morgan Oey, Angkat Budaya Tionghoa
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
Lalu bagaimana jika perempuan yang akan menikah ini adalah anak dari hasil hubungan gelap atau zina, siapakah wali nikahnya?
Dikutip dari NU Online, pendapat mayoritas ulama menegaskan bahwa anak perempuan tidak memiliki hubungan nasab dengan seorang laki-laki yang menghamili ibunya di luar pernikahan yang sah.
Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid:
واتفق الجمهور على أن أولاد الزنا لا يلحقون بآبائهم إلا في الجاهلية على ما روي عن عمر بن الخطاب على اختلاف في ذلك بين الصحابة
Baca Juga: Rayyanza Kado Mpok Livia Karyawan Rans 'Rumah', Harganya Nggak Main-main
Artinya: “Mayoritas ulama sepakat bahwa anak hasil zina tidak bersambung nasabnya kepada bapak mereka kecuali hal tersebut terjadi pada masa Jahiliyah (pra Islam) sebagaimana penuturan ‘Umar bin Khattab, meski terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini di antara para Sahabat.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Mesir: Mathba’ah Mushtafa, 1975], jilid II, hal. 358).
Artinya nasab anak di luar nikah hanya tersambung kepada ibunya. Namun dalam ajaran Islam, seorang perempuan tidak dapat menjadi wali nikah, maka tidak bisa ibunya menjadi wali nikah baginya, sebagaimana tidak sahnya perwalian perempuan yang dikutip Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ dan juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:
لا تُزوِّجُ المرأةُ المرأةَ، ولا تُزوج المرأةُ نفسَها، فإنَّ الزَّانية هي التي تُزوجُ نفسَها
Artinya: “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR Ibnu Majah).
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 186 menyebutkan, “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” (H.A. Badruddin, Kompilasi Hukum Islam, PSP Nusantara, 2018, hal. 43).
Dengan demikian, sebenarnya wali nikah yang bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan yang sah adalah hakim, atau pejabat hukum yang ditunjuk oleh Kementerian Agama.