Perempuan yang Ditinggal Pergi Suami tanpa Kabar, Bolehkah Dinikahi?

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Minggu, 04 Agustus 2024 | 08:05 WIB
Perempuan yang Ditinggal Pergi Suami tanpa Kabar, Bolehkah Dinikahi?
Ilustrasi cerai. Hukum menikahi perempuan yang ditinggal suaminya tanpa kejelasan. [pexels/RDNE Stock project]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam beberapa kasus rumah tangga, sering terjadi seorang suami pergi meninggalkan istrinya begitu saja tanpa kabar berita. 

Jika ada seorang istri mengalami hal seperti ini, apakah dia diperbolehkan menikah lagi? Dikutip dari situs Kemenag.go.id, ada dua pendapat mengenai kondisi seperti ini. 

Pendapat pertama, si perempuan harus menunggu hingga yakin ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, telah ditalak suaminya, atau sejenisnya. Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya.

Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula. Demikian pendapat Imam As-Syafi’i dalam qaul jadîd.

Baca Juga: Saksi Perempuan dalam Pernikahan, Bolehkah?

قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ

“(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).

Pendapat kedua, si perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama 4 bulan 10 hari.

Masa empat tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan hukum dari hakim atas kematian suami.

قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.

Baca Juga: Ade Govinda Pilih Riyal Jadi Mas Kawin, Ternyata Ada Niat Mulia

“(Menurut qaul qadîm, ia harus menunggu selama empat tahun), menurut satu versi: empat tahun itu dihitung sejak hilangnya si suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung. (Kemudian ia menjalani ‘iddah sebagai wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457).

Pendapat qaul qadîm Imam As-Syafi’i rahimahullâh ini selaras dengan riwayat pendapat ulama lainnya. Dari generasi sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum. Sedangkan dari generasi tabi’in ada An-Nakhai’, Atha’, Az-Zuhri, Makhul dan As-Sya’bi.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ

“Diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya berkata, ‘Istri mafqûd harus menanti empat tahun.’ Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi’in semisal An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538).

Dengan demikian, hukum menikahi perempuan yang ditinggalkan suaminya dibolehkan dengan mengacu pada 2 pendapat.

Pertama, perempuan harus meyakini bahwa dia telah putus hubungan dengan suaminya entah karena kabar kematian, kabar ditalak, dan sejenisnya, selanjutnya menjalani masa iddah.

Kedua, perempuan harus menunggu sampai 4 tahun sejak hilangnya keberadaan suami dan dilanjutkan dengan masa iddah selama 4 bulan 10 hari.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI