Suara.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memutuskan mabit atau bermalam di Muzdalifah dengan cara murur hukumnya sah,
Keputusan tersebut diambil dalam Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang berlangung pada Rabu (28/5/2024).
Mururr sendiri merupakan metode mabit yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah.
Pada saat itu, jemaah yang melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus alias tidak turun dari kendaraan. Kemudian bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.
Baca Juga: Nasib 22 WNI Pelanggar Visa Haji: Diusir dan Dilarang ke Arab Saudi Selama 10 Tahun
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat (31/5/2024).
Tak hanya itu, bila mabit di Muzdalifah secara murur belum melewati tengah malam 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah.
Keputusan tersebut berdasarkan keterangan beberapa ulama. Misalnya, dalam Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Manhaj dijelaskan bahwa berkenaan ungkapan Zakariya al-Anshari tentang wajib mabit sebentar, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mabit hukumnya sunnah. Ar-Rafi'i bahkan mengunggulkan pendapat ini.
Kemudian dalam Hasyiyah Ibn Hajar 'ala Syarh al-Idhah, dijelaskan juga tentang dua pendapat asy-Syafi'I tentang Mabit di Muzdalifah, wajib dan sunnah.
Bila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu wajib, maka dam-nya wajib. Apabila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu sunnah maka dam-nya sunnah.
Baca Juga: Pemerintah Saudi Sudah Razia 20 Ribu Pelanggar Visa Haji
Alasan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU tersebut berdasarkan juga pada kepadatan jemaah di area Muzdalifah.
Sehingga dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam.
Sebab, kondisi jamaah yang berdesakan borpotensi menimbulkan mudharat/masyaqoh dan mengancam keselamatan jiwa jamaah.
"Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah," demikian dikutip dari kesimpulan musyawarah.
Dalam musyawarah tersebut hadir Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori sebagai pimpinan.
Musyawarah itu sendiri dilakukan secara hibrid, daring dan luring dengan diikuti KH Afifuddin Muhajir, KH Musthofa Aqiel Siraj, KH Masdar F Masudi, KH Sadid Jauhari, KH Abd Wahid Zamas, KH Kafabihi Mahrus, KH M Cholil Nafis, KH Muhibbul Aman Aly, KH Nurul Yaqin, KH Faiz Syukron Makmun, KH Sarmidi Husna, KH Aunullah A’la Habib, KH Muhyiddin Thohir, KH Moqsith Ghozalie, KH Reza A Zahid, KH Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH Abd Lathif Malik.
Sementara perwakilan Kementerian Agama RI hadir Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.