Suara.com - Di Penghujung Ramadan, umat islam banyak yang menunggu momen sholat Kafarat. Di hari jumat terakhir, usai sholat jumat terdapat tradisi menjalankan Sholat Kafarat.
Sholat Kafarat ini diniatkan untuk mengqadha sholat fardlu yang diragukan ditinggalkan atau yang tidak sah.
Melansir dari laman NU Online, sholat kafarat ini dapat mengganti sholat yang ditinggalkan semasa hidupnya sampai 70 tahun. Selain itu juga dapat melengkapi kekurangan-kekurangan dalam sholat yang disebabkan waswas atau lainnya.
Sholat kafarat ini dilakukan sejumlah rakaat sholat Fardlu. Lima kali waktu sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh, sehingga total 17 rakaat.
Baca Juga: Orang Dengan Kondisi Penyakit Jantung Akut Tak Boleh Boleh Puasa, Kenapa?
Meskipun menjadi tradisi, namun masih saja ada yang tidak sependapat dengan adanya Sholat Kafarat ini.
Menurut pandangan sebagian ulama, Sholat Kafarat pada Jumat akhir Ramadan tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab hukum islam.
Selain itu waktu pelaksanaan sholat kafarat ini juga tidak memiliki dasar yang jelas dalam syariat. Lantas bagaimana hukum islam memandang pelaksanaan sholat kafarat?
Mufti Hadlramaut Yaman, Syekh fadl bin Abdurrahman mengumpulkan perbedaan pandangan para ulama dalam kitabnya, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf.
Pandangan yang membolehkan:
Baca Juga: Cerita Penjual Buket Bunga Banting Setir Buka Bisnis Parsel
Pertama, tidak ada orang yang meyakini keabsahan sholat yang baru saja ia kerjakan, terlebih sholat yang dulu-dulu.
Kedua, larangan sholat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran sholat tersebut cukup untuk mengganti sholat yang ditinggalkan selama setahun, Ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram hilang.
Sementara itu, Pandangan yang mengharamkan setidaknya karena berbagai pertimbangan berikut:
Pertama, hadist tentang sholat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas. Kesimpulan ikhtilaf mengenai hukum sholat kafarat terangkum dalam statemen Mufti Syekh Salim bin Said Bukair al-Hadlrami.
Meskipun ada pro kontra, namun semuanya Kembali pada kepercayaan masing-masing. Tentunya kewajiban kita sebagai umat islam adalah saling menghargai atas perbedaan yang ada.
Kontributor : Kanita