Merayakan Kebersamaan Ramadan Dalam Tradisi Megibung di Kampung Islam Kepaon

Jum'at, 22 Maret 2024 | 08:59 WIB
Merayakan Kebersamaan Ramadan Dalam Tradisi Megibung di Kampung Islam Kepaon
Suasana tradisi megibung di Masjid Al-Muhajirin Kepaon, Kota Denpasar, Bali, Kamis (21/3/2024) (suara.com/Putu Yonata Udawananda)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bagi masyarakat di Kampung Islam Kepaon, Denpasar, Bali datangnya Bulan Ramadan tidak hanya dimaknai dengan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tapi juga hadirnya kembali tradisi turun temurun mereka yang hanya dilakukan saat Bulan Ramadhan.

Salah satunya adalah tradisi Megibung atau makan bersama dalam satu nampan yang dilakukan masyarakat Kampung Islam Kepaon.

Sekitar satu jam sebelum waktu berbuka puasa, masyarakat Kampung Islam Kepaon mulai meramaikan Masjid Besar Al-Muhajirin Kepaon. Dari berbagai usia dan kalangan, mereka melakukan ngabuburit di areal masjid sambil menunggu waktu berbuka puasa.

Kemudian perlahan beragam hidangan dengan wadah nampan besar mulai dibawa dari luar masjid. Makanan ringan seperti gorengan hingga makanan utama berupa nasi dan lauk pauknya dibawa satu per satu ke dalam masjid.

Baca Juga: Lambungnya Luka, Olla Ramlan Belum Puasa Ramadan Sama Sekali

Dari dalam masjid, bacaan ayat Al-Qur’an mulai dikumandangkan secara bergantian. Pada saat yang sama juga, makanan dan minuman mulai dijejerkan di areal lantai masjid. Aroma hidangan yang baru matang itu mengundang anak-anak hingga dewasa untuk merapat ke masjid dan menanti waktu berbuka puasa yang semakin dekat.

Seperti itu suasana di Masjid Al-Muhajirin Kepaon menjelang tradisi Megibung pertama mereka pada Bulan Ramadhan tahun ini pada Selasa (21/3/2024).

Megibung memang merupakan tradisi khas Bali yang erat dilakukan di Kabupaten Karangasem. Tradisi itu juga yang kemudian diakulturasikan dengan masyarakat Islam di Kepaon sejak abad ke-17 silam.

Sejatinya, tradisi megibung di Kampung Islam Kepaon ini memiliki namanya tersendiri yakni Mamin.

Selama bulan puasa, tradisi megibung atau mamin ini digelar pada hari puasa ke-10, 20, dan 30. Perhitungan tersebut dikarenakan setiap malamnya, di masjid tersebut digelar Tadarusan atau membaca Al-Qur’an.

Baca Juga: Selama Ramadan Belajar Tahsinul Quran di Masjid Raya Sumbar

Dengan Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, setiap malamnya Tadarusan akan membaca 3 juz Al-Qur’an. Sehingga, pada hari ke-10 akan dilakukan khataman untuk menutup pembacaan Al-Qur’an dan digelar kegiatan Megibung.

“Itu sebabnya kenapa setiap 10 hari sekali, karena Al-Qur’an itu terdiri dari 30 juz. Dibaca setiap malam 3 juz, akhirnya setiap 10 hari sekali kita mengadakan khataman,” ujar tokoh masyarakat Kampung Islam Kepaon, Padani.

Kegiatan Megibung digelar dengan harapan meningkatkan kebersamaan dan kerukunan antar masyarakat Kampung Islam Kepaon. Harapan kerukunan itu juga tercermin dengan masyarakat yang selalu menyiapkan hidangan untuk Megibung.

Padani menjelaskan dalam 3 kali Megibung, kelompok masyarakat di sana bergiliran mendapat tugas untuk menghidangkan makanan. Pada Megibung pertama, kelompok masyarakat bagian selatan Kampung Islam Kepaon yang membawa makanan, kemudian diikuti masyarakat di tengah dan utara Kampung Islam Kepaon.

Padani yang juga merupakan salah satu tokoh senior di sana menjelaskan jika tradisi Megibung mengalami perubahan dibanding dahulu. Perubahan yang terlihat paling jelas adalah dari jenis makanan yang dihidangkan.

Jika dahulu, dia menjelaskan lauk yang disajikan adalah olahan daging. Olahan daging sapi yang kerap dihidangkan seperti semur daging Kedonting atau daging masak merah. Namun, kini lauk pauknya lebih banyak menggunakan olahan daging ayam.

Namun, satu ciri khas hidangan Megibung di Kampung Islam Kepaon yang harus ada adalah sayur urap. Selain itu, tentunya nasi yang dialasi dengan nampan besar atau disebut dengan “nasi kapar”.

“Yang khas di sini Mamin di nasi kapar yang tidak boleh dilupakan adalah sayur urapnya, itu yang khas,” ujarnya.

“Sekarang lauknya sudah beda, kalau dulu tidak ada ayam, pasti daging. Karena itu masakan tradisional Kepaon, kita pakai Kedonting, ada masak merah. Sekarang sulit kita dapatkan itu. Karena cara membuat masakan itu cukup rumit, dari pagi sampai sore baru selesai,” tutur Padani.

Meski begitu, antusiasme masyarakat untuk mengikuti Megibung sangat besar. Setelah melakukan Sholat Maghrib bersama, mereka langsung mengambil posisi untuk megibung.

Tua dan muda semuanya menyatu dalam sebuah lingkaran yang mengitari nampan. Dengan lahapnya mereka menikmati hidangan sekaligus menuntaskan ibadah puasa mereka pada hari itu.

Meski mengalami perubahan, Padani sudah merasa senang dan bersyukur karena tradisi tersebut masih terus dilanjutkan. Tentunya, dia mengharapkan agar generasi muda Kampung Islam Kepaon saat ini bisa meneruskan tradisi yang mengakar itu.

“Yang jelas Megibung atau mamin itu tetap diadakan sampai saat ini, itu yang patut kita syukuri sampai sekarang ini,” pungkasnya.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI