Suara.com - Persoalan LSM asing, terutama Greenpeace Indonesia (GPI) menjadi perhatian PB HMI. Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal PB HMI, Muh. Jusrianto menemui Kabag Organisasi Asing menjabat Plh Direktur Ormas Kemendagri Abdul Gafur.
Menurut Muh. Jusrianto, keberadaan LSM asing dan pendukungnya banyak terlibat agenda kamuflase berkedok lingkungan hidup yang kontra terhadap kepentingan nasional.
“Kampanye negatif yang yang dimotori GPI bukanlah sesuatu yang bebas kepentingan, melainkan terikat pada kepentingan politik bisnis global," ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam kampanye negatif sawit Indonesia dilakukan secara sistematis, tidak lebih didasari oleh motif bisnis asing yang tidak ingin produsen sawit Indonesia bersaing di pasar global.
Baca Juga: Kekang Aktivitas LSM di Bali Selama KTT G20, Pemerintah Dicap Anti Demokrasi
"Ini sangat mudah dipahami menimbang pesatnya perkembangan industri minyak sawit di Indonesia dianggap sebagai kompetitor berbahaya bagi bisnis minyak jagung, minyak kedelai, dan minyak nabati lainnya yang diproduksi negara – negara maju,” ucap Muh Jusrianto.
PB HMI menilai negara maju memanfaatkan Greenpeace sebagai tukang gebuk melalui kampanye hitam.
Alasannya, minyak sawit merupakan komoditas paling produktif dan dicari di banyak negara dengan produksi mencapai 40 persen disusul minyak kedelai 29 persen, minyak Rapeseed 11 persen serta minyak bunga matahari, dan lainnya yang tidak mencapai 10 persen.
Dari data tersebut, tidak menampik bahwa aksi-aksi kampanye lingkungan yang dilakukan GPI dengan target khusus menyerang kelapa sawit Indonesia merupakan sesuatu yang sangat tendensius dan bermuatan kepentingan politik asing.
PB HMI meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas, termasuk memblokir seluruh rekening yang dimiliki GPI.
Baca Juga: PB HMI Desak Pemerintah Hukum Manajemen dan Tutup Semua Holywings di Indonesia
Hal itu guna mengungkap dari mana dana yang selama ini digunakan untuk membiayai seluruh kegiatan kampanye dan aksi-aksi ilegal lainnya. Apalagi GPI tak lebih sekadar LSM asing dengan agenda utama mengganggu ketahanan nasional.
GPI merupakan perpanjangan tangan LSM asing yang memainkan peran khusus dalam melemahkan sendi-sendi utama perekonomian dan bisnis dalam negeri.
Isu lingkungan yang digaungkan GPI hanyalah tameng demi menarik simpati publik. Terlebih, isu lingkungan merupakan isu seksi yang mendapat atensi khusus dalam dunia internasional.
"Sehingga, siapapun yang menyuarakan isu tersebut, sudah pasti mendapat dukungan dari masyarakat global," tuturnya.
Menurut Bambang Irawan, Ketua Bidang Politik dan Demokrasi PB HMI, sudah menjadi pemahaman umum bahwa kepentingan politik global berkaitan erat dengan persaingan bisnis global dewasa ini.
Oleh karena itu, narasi besar yang digaungkan GPI tak lain bagian dari agenda setting global yang ingin mematikan potensi bisnis dan komoditas unggulan negara-negara berkembang, khususnya dalam hal ini Indonesia dengan kelapa sawitnya.
"Dan yang perlu dipahami adalah ‘tidak ada makan siang gratis’. Kalimat satire tersebut dimaksudkan terkait dengan keberadaan GPI di Indonesia dan apa yang dibelanya selama ini," tuturnya.
Sebagai antisipasi, PB HMI meminta semua pihak untuk mewaspadai ancaman GPI dan seluruh LSM asing terhadap ketahanan nasional Indonesia. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan meliputi, perlunya meningkatkan peran masyarakat dalam mengawasi kegiatan LSM asing di Indonesia teristimewa gerak-gerik GPI.
Kedua, mendorong agar perlu adanya kerja sama yang lebih erat antara pemerintah dan masayarakat untuk mengawasi kegiatan LSM asing seperti GPI yang berpotensi membahayakan kepentingan perekonomian nasional.
Terakhir, meminta pemerintah untuk bersikap tegas terhadap GPI seperti memblokir dana dan mengevaluasi keberadaannya.