Suara.com - Menjadi sebuah tantangan di dunia arsitektur untuk menjadi bagian dari solusi masalah lingkungan dan perubahan iklim yang kian terasa dampaknya berupa pergeseran musim panen, terjadinya bencana alam, dan menghilangnya berbagai habitat satwa di muka bumi ini.
Meningkatnya jumlah penduduk memperparah kondisi dengan meningkatnya kebutuhan perumahan dan bangunan.
Kayu dan bambu sebagai material bahan bangunan yang ramah lingkungan namun penggunaannya dalam dunia arsitektur dan konstruksi masih terbatas pada aspek keindahan dibandingkan aspek kekuatannya.
Selain itu perspektif lama bahwa menggunakan kayu dapat menyebabkan habisnya hutan juga mengurangi minat penggunaan kayu dan bambu yang sebenarnya dapat menjadi solusi masalah perubahan iklim.
Baca Juga: Aktivis Suarakan Keresahan Jelang Pemilu, Bawa Spanduk 'Salah Pilih Susah Pulih'
Dalam upaya memberikan pilihan material kayu dan bambu dari sumber yang berkelanjutan kepada dunia arsitektur, beberapa kelompok petani hutan pengelola hutan lestari dan UKM yang telah bersertifikasi FSC yang diantaranya adalah Karya Wahan Sentosa (KWaS), UD. Amratani Kekayon Bhumi, Kostajasa, BambooCoop, SOBI, serta Promotional Licence Holder IRCOMM memperkenalkan material kayu dan bambu dari hutan bersertifikasi FSC melalui booth exhibition pada Expo ARCH:ID 2024 yang merupakan Architecture Forum, Exhibition & Trade Event yang dinantikan kalangan arsitek di Indonesia. ARCH:ID tahun 2024 diselenggarakan di ICE BSD – Tangerang Selatan selama 4 hari dimulai pada tanggal 22 hingga 25 Februari 2024.
Penggunaan material kayu dan bambu pada booth hasil kerjasama pengelola hutan dan UKM pemegang sertifikasi FSC di Exhibition ARCH:ID yang diberi nama “Tree of Life” menyiratkan pesan penggunaan material kayu dari sumber yang berkelanjutan merupakan bentuk toleransi dan adaptasi manusia terhadap perubahan iklim.
“Partisipasi industri kayu UKM dan petani hutan bersertifikasi FSC di Expo ARCH:ID 2024 ini ingin menyebarluaskan kepada publik khususnya dunia arsitek dan industri bangunan terkait pentingnya penggunaan kayu dari sumber yang berkelanjutan terhadap keberlanjutan hutan. Pengelolaan hutan yang baik dan bertanggung jawab bertujuan untuk melindungi keberlanjutan hutan sedangkan manusia tetap dapat memanfaatkan hasil hutan baik kayunya, non kayu dan jasa lingkungan. Berhenti menggunakan kayu bukan merupakan solusi jangka panjang yang diharapkan untuk keberlanjutan hutan. Dengan berhenti menggunakan kayu akan meniadakan manfaat ekonomi hutan bagi pengelola hutan untuk mengelolanya dengan baik dan bertanggung jawab. Ketiadaan manfaat ekonomi dari hutan dapat menggiring pada penutupan usaha pengelolaan hutan secara luas yang mendorong pada pembukaan lahan hutan untuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi namun menyebabkan semakin luasnya pembukaan hutan yang menghasilkan kerusakan lingkungan yang lebih besar,” ungkap Hartono Prabowo – Technical Director FSC Indonesia pada saat acara pembukaan booth Tree of Life bersama para mitra dan media di ARCH:ID 2024.
“Sertifikasi FSC memberikan jaminan kepada publik bahwa sumber kayu dan bambu berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan berstandar FSC. Dengan penggunaan kayu dan bambu maka penanaman dan permudaan kembali menjadi wajib dilakukan dimana hal ini akan meningkatkan penyerapan karbon dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab dan ini merupakan salah satu solusi adaptasi dunia arsitektur dan konstruksi mengatasi masalah perubahan iklim. Booth Tree of Life mengedepankan penggunaan material kayu dan bambu dari hutan berkelanjutan berstandar FSC guna menginspirasi dunia konstruksi dan arsitektur atas masalah perubahan iklim dan keberlanjutan hutan,” imbuh Indra Setia Dewi – Manager Marketing & Communications FSC Indonesia disela-sela acara pembukaan booth Tree of Life pada ARCH:ID 2024.
“Koperasi Kostajasa sebagai pengelola hutan rakyat dari Kabupaten Kebumen telah mendapatkan sertifikasi FSC sejak 2009. Ini membuktikan masyarakat petani dapat mengelola hutan dengan berkelanjutan. Pohon bagi kami merupakan tabungan masa depan yang dapat kami panen untuk membiayai kebutuhan hidup yang krusial seperti biaya pendidikan, perbaikan rumah, pengobatan rumah sakit, dan lain-lain. Maka dari itu, kami jaga keberlangsungan hutan agar dapat bermanfaat untuk anak cucu kami. Sertifikasi FSC yang kami dapatkan membuktikan hal itu,” jelas Supriyono staff dari Koperasi Kostajasa.
Baca Juga: Ulasan 'Dalbo: Basa-Basi Bumi,' Novel Rasa Cerita Azab yang Dikemas Secara Puitis
“Kami sebagai bagian dari Koperasi Kostajasa menjalankan usaha penggergajian kayu untuk mengolah kayu bulat yang dihasilkan oleh masyarakat petani hutan. Model usaha kami ini made to order, sehingga pembeli dapat memperoleh produk yang unik sesuai pesanan dan mendapatkan nilai tambah berupa nilai kelestarian hutan,” tambah Untung Karnanto, pimpinan UD Amratani, sebuah industri kecil penggergajian bagian dari Koperasi Kostajasa.
“Sebagai pemilik industri kecil dari Yogyakarta, sejak 2004 kami sudah mengikuti program forest sustainability yang disupport oleh sebuah lembaga internasional dan diperkuat dengan keikutsertaan dalam sertifikasi FSC sejak 2009 dengan berproduksi menggunakan bahan baku kayu dari sumber yang berkelanjutan untuk produk furniture dan kitchenware, antara lain bahan bakunya kami peroleh dari SOBI dan Kostajasa. Adapun produk kitchenware produksi kami yang berlabel FSC sudah beredar di lebih dari 8 retail di Indonesia,” ujar Robertus Agung Prasetya dari Karya Wahana Sentosa (KWaS).
Bamboocoop hadir untuk menyempurnakan kehadiran kayu sebagai material yang berketahanan iklim. Dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali, kayu berarti kayun atau pikiran; sedangkan bambu berarti ti’ing atau tingkah. Manusia yang sempurna terdiri dari unsur pikiran dan tingkah. “Dengan memadu kayu dan bambu, kami hendak merespresentasikan sejatinya hidup dalam karya arsitektur,” papar Jajang Agus Sonjaya, saat brainstorming konsep booth Arch:id. “Kami yakin, dengan mengusahakan bambu, masyarakat bisa sejahtera, sekaligus alamnya terjaga,” tambah Jajang selaku ketua BambooCoop. Sertifikasi FSC pada hutan bambu seluas 121 hektar di Flores sangat membantu meningkatkan pengakuan pasar atas upaya masyarakat dalam melestarikan hutan.
“Indonesia memiliki potensi hutan rakyat masif dengan luasan total mencapai 34,8 juta hektar. Kami di SOBI hadir berkolaborasi bersama petani hutan rakyat untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal dari pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan. Tim SOBI memberikan nilai tambah secara komprehensif ke petani hutan sosial yang mencakup penguatan kelembagaan sosial, peningkatan kemampuan teknis, manajemen pembiayaan operasional dan fasilitasi pemenuhan regulasi. Terlebih, kami juga membantu pengelolaan sertifikasi (salah satunya FSC), penyediaan akses penjualan hasil panen, pengembangan in-house sistem digital keterlacakan (traceability), dan tentunya memastikan pemeliharaan kawasan dengan nilai konservasi tinggi. Yang terbaru dari SOBI, kami sedang memberlakukan upaya intensif agar supply chain kayu kami dapat mematuhi EUDR sebelum regulasi tersebut dimulai pada 1 Januari 2025,” ujar Matt Saragih, CEO SOBI.