Suara.com - Perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan dan demokrasi. Tidak hanya sebatas jadi pemilih, tetapi juga sebagai calon legislatif, anggota parlemen, hingga pembuat kebijakan.
Namun keterwakilan perempuan dalam parlemen masih jauh dari ideal.
Keterwakilan perempuan di DPR pada 2019-2024 hanya mencapai 20,87 persen.
Karena itu pemerintah menargetkan keberadaan perempuan di parlemen pada periode 2024-2029 dapat mencapai 30 persen.
Baca Juga: Cegah Cat Calling, Anies Sebut Perlu Perlindungan Ekstra pada Perempuan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Bintang Puspayoga, menegaskan bahwa partisipasi perempuan dalam pemilu bukan hanya sekadar angka.
Lebih dari itu, keterlibatan perempuan dalam politik merupakan investasi untuk mengawal masa depan bangsa.
"Salah satunya, melalui perjuangan panjang di tahun 2022, Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) berhasil disahkan. Patut pula dicatat bahwa keberhasilan mengesahkan undang-undang tersebut merupakan sebuah kerja sama kolaboratif yang sangat konstruktif dan saling memperkuat satu sama lain," paparnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Dukung Perempuan dalam Pemilu 2024,' Rabu (7/2/2024).
Bintang menambahkan, selama ini perempuan berperan penting dalam pembangunan peradaban bangsa. Kehadiran perempuan dalam politik akan membawa pendekatan humanistik dalam pembuatan kebijakan, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih memihak rakyat.
Namun, menurutnya peluang dan kesempatan perempuan dalam politik masih terbelenggu oleh budaya dan adat yang belum sepenuhnya menerima peran perempuan di bidang politik.
Baca Juga: Perlindungan Perempuan: Catcalling dan Anies Baswedan di Pilpres 2024
"Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi di dunia sudah sepatutnya meningkatkan ruang partisipasi dan representasi politik perempuan agar terfasilitasi dengan baik," tegasnya.
Tantangan Perempuan di Pemilu 2024
Meskipun kemajuan telah dicapai, perempuan masih menghadapi banyak hambatan dalam memasuki dunia politik.
Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat sering kali meminggirkan perempuan dan memunculkan anggapan bahwa mereka tidak cocok untuk politik.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengupas realitas pahit yang dihadapi perempuan dalam dunia politik Indonesia.
Hambatan, baik dari sisi budaya patriarki maupun regulasi, masih membatasi ruang gerak perempuan.
"Di ranah politik, marginalisasi menjadi kenyataan pahit. Perempuan berjuang sendiri, tanpa pendampingan memadai dari partai politik. Kekerasan, tak hanya fisik, tapi juga non-fisik, seperti komentar seksis dan bully di media sosial. Itu menjadi momok menakutkan bagi perempuan yang berani terjun ke dunia politik," katanya.
Menanggapi kontestasi Pemilu 2024 ini, ia juga menilai regulasi yang ada tidak selalu membantu. Justru, regulasi baru pada pemilu kali ini dikhawatirkan semakin memperkecil peluang perempuan untuk terpilih.
Namun, dirinya tetap optimis dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, bukan tidak mungkin untuk mewujudkan politik yang inklusif dan berkeadilan, di mana perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan membawa perubahan bagi bangsa.