Suara.com - Hari Pangan Sedunia, yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2023, adalah momen yang bersejarah dalam memperingati pendirian Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, menyampaikan pandangannya tentang tahun 2023 sebagai tahun yang penuh tantangan, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia. Kenaikan suhu bumi yang memicu El Nino panjang menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi ketersediaan pangan global.
Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya antisipasi dengan persiapan cadangan beras yang memadai. Seiring waktu, infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan telah dibangun, termasuk waduk, ribuan embung, dan jaringan irigasi.
Namun, tantangan yang dihadapi, terutama dalam situasi El Nino, masih mengandalkan impor sebagai solusi.
Baca Juga: Solusi Atasi Perubahan Iklim Melalui Teknologi Biosoildam MA-11
Dosen Universitas Wahid Haysim Semarang, yang telah diakui dengan prestisius Kalpataru 2023, Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi mengatakan Kebijakan Ketahanan Pangan harus dimulai dengan Pembangunan ekosistem berkelanjutan, yang meliputi variael tanah, air dan udara, sehingga jaminan akan Kesehatan dan Kesuburan elemen tersebut akan memberikan buah hasil tanaman yang baik untuk dimakan dari generasi ke generasi.
Di negara kita telah terjadi degradasi lahan akibat pemakaian pupuk dan pestisida berlebihan sejak revolusi huijau tahun 1970 sampai saat ini.
“Keberpihakan pemerintah terhadap sumber daya yang berkelanjutan untuk kemandirian tidak diperhatikan, alih alih menambah cabang kerusakan dengan ekploitas tambang yang tarus menggila, alih fungsi lahan, ketergantungan impor dan lainnya sehingga menjadi potret gelap dalam dunia pangan. Akibatnya bisa kita rasakan saat ini tekanakan ekonomi, perubahan iklim global memaksa semua elemen tumbang karena negara kita tidak siap,” papar Nugroho.
Mengatasi krisis pangan terutama beras tidak dengan impor atau buat program “kagetan” seperti program “Pendamping Beras” dengan sumber lain seperti ubi, pisang dll.
“Percuma saja kalau tanahnya terus dirusak dan diracun atau masih ketergantungan dengan pupuk kimia, itu hanya memindahkan masalah ke tempat lain. Sebaiknya Pemerintah mulai serius menyelamatkan ketahan pangan dengan kebijakan fundamental ciptakan kantong / lumbung papuk & lumbung pakan untuk mengisi lumbung pangan. Semua komponen ini ada di desa, dengan Teknologi Biosoildam MA-11 semua dapat diwujudkan dengan cepat, mudah dan terukur,” tambahnya.
Teknologi tersebut mampu menghadapi cuaca ekstrem, mengurangi tekanan ekonomi global, dan mendukung pemulihan ekonomi di tingkat desa.
Penerapan Teknologi Biosoildam Total Organik MA11 telah diterapkan di semua Provinsi sejak 2012 yang hasilnya telah dirasakan dengan peningkatan produksi panen 150 sd 300 % dan penekanan biaya sampai 50 % dibanding dengan pupuk kimia.
Dua tahun terakhir ini juga untuk mendukung Program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP) oleh Bank Indonesia.
Teknologi Total Organik ini yang mampu membuat Petani Mandiri secara teknis sudah terbukti berhasil dan menyebar namum belum masif karena Pemerintah Pusat dan Daerah belum maksimal menerimanya karena masih berorientasi pada proyek pupuk kimia.
“Namun dengan kondisi saat ini seperti adanya Perubahan Iklim, tekanan ekonomi global maka telah memaksa semua negara wajib mandiri pangan dan Biosoildam Total Organik MA11 adalah jawabnya, karena Cepat, Hemat dan Terukur bisa dikerjakan semua petani, tinggal menunggu dukungan penuh dari Pemerintah,” jelas Nugroho.