Suara.com - Meski memiliki potensi energi baru terbarukan yang sangat besar, tetapi pemerintah Indonesia diperkirakan akan sulit mencapai target bauran energi sebesar 23 % pada 2025. Tahun ini saja baru mencapai 12,3 persen.
Artinya, dalam dua tahun pemerintah harus menggenjot capaian EBT hingga 10,7%. Salah satu bauran energi terbarukan yang diandalkan adalah PLTS Atap.
Ir. Yudo Dwinanda Priaadi, M.S., Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, dalam diskusi bertema “Perubahan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, Mampukah Mendorong Capaian Energi Baru Terbarukan di Indonesia?” mengatakan, PLTS Atap merupakan salah satu program yang didorong oleh pemerintah untuk mengisi gap pencapaian target bauran energi terbarukan.
Karenanya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan PLTS Atap, salah satunya adalah Permen No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap, yang saat ini sedang menunggu pengesahan pemerintah. Sayangnya revisi Permen ini dipandang sebagai langkah mundur yang bisa mematikan minat pelanggan, baik rumah tangga, sosial dan Industri.
Menurut Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), revisi Permen ini akan membunuh minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap on-grid atau yang tersambung ke grid PLN.
"Masyarakat itu pada umumnya sangat picky (sangat memilih), begitu dia melihat suatu kemungkinan itu ditutup, dia akan mencari peluang atau open opportunity yang lain, dan open opportunity yang lain itu adalah off-grid. Artinya apa? Revisi ini akan mendorong masyarakat untuk menjauh atau untuk berpisah dari grid yang istilah akademisnya grid defection, dan ini bahaya," katanya.
Pembicara lain pada diskusi yang diselenggarakan oleh Orbit Indonesia.com, Dr. Ir.Herman Darnel Ibrahim, M.Sc., anggota Dewan Energi Nasional (DEN) setuju dengan pendapat Sumaryo.
Baca Juga: Resmikan PLTS Atap Tahap 2, Bentoel Group Komitmen Perkuat Penggunaan Energi Hijau
"Kalau sebanyak yang bisa tanpa ekspor, tentu hal ini tidak akan menggenjot, padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan. Yang paling bisa diandalkan dengan cepat dan dengan luas itu adalah PLTS. Jadi peraturan ini sebenarnya harus diuji dulu secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS baik oleh industri baik bukan industri itu akan menarik," ujar mantan Direktur Distribusi dan Transmisi PLN ini.
Menurut Herman, PLTS Atap sebetulnya salah satu opsi untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di mana pemerintah, dalam hal ini PLN itu tidak perlu melakukan investasi pembangunan pembangkit, karena tingkat partisipasi dan minat yang sangat tinggi dari masyarakat, baik rumah tangga maupun industri.
Perbaikan peraturan ini harus memberi peluang, supaya agar ada insentif ekspor yang dihitung sehingga menarik bagi pelanggan, tetapi PLN juga tidak boleh dirugikan. Dulu ada tiga hal sebenarnya harus diatur, yaitu tentang kapasitas yang dibatasi 100%, kedua tentang harga yang dianggap dibeli atau harganya sama dengan 65%, karena dari energi yang diekspor yang diakui hanya 65%.
Sekarang di Permen Nomor 26 diakui 100% kapasitasnya, tetapi akibatnya PLN merasa kurang, agak dirugikan atau tidak pada posisi yang ikut win-win dengan adanya PLTS Atap.
Hal lain yang dikeluhkan oleh masyarakat dan pelaku industri, menurut Sumaryo adalah terkait perizinan, baik keterlambatan maupun adanya keenganan untuk mengabulkan persetujuan. Padahal permintaan terhadap PLTS Atap juga tercatat meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, pelanggan PLTS Atap secara nasional per Juli 2023 mencapai 105,42 mega watt, yang berasal dari 7.472 pelanggan. Jumlah pelanggan terbesar dari rumah tangga sebesar 17% dan kapasitas terbesar dari satu industri sebesar 47%.
Potensinya sendiri secara nasional mencapai 32,5 gigawatt baik dari pelanggan golongan rumah tangga, industri, bisnis, sosial maupun pemerintah. Kementerian juga menargetkan bangunan PLTS Atap secara bertahap sebesar 3,61 giga watt sampai dengan tahun 2025 (tahun 2023 ditargetkan sebesar 900 megawatt dan tahun 2024 sebesar 1,8 giga watt).
Baca Juga: Jababeka Resmikan PLTS Atap dan Jababeka Net Zero Forum