Suara.com - Indonesia selama ini dikenal dengan kekayaan budayanya. Budaya memiliki arti strategis di mata para pendiri bangsa Indonesia atau the founding father. Sebagaimana dicita-citakan oleh Presiden Soekarno, Indonesia harus berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Politik, ekonomi, dan kebudayaan merupakan tiga bidang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, pembangunan di bidang politik dan ekonomi tetap harus memperhitungkan faktor kebudayaan yang ada di Indonesia. Frasa berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana dinyatakan Bung Karno mengandung makna pentingnya menjadikan kebudayaan sebagai karakter bangsa Indonesia.
Pembangunan di Indonesia tidak selalu identik dengan pembangunan ekonomi. Karenanya, pembangunan kebudayaan tetap harus diperhatikan. Bahkan, Pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan pada 27 April 2017. Frasa pemajuan kebudayaan yang dipilih sebagai nama undang-undang tersebut merujuk pada Pasal 32 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Saat ini tercatat ada ada lebih dari 700 suku bangsa dan bahasa beserta adat istiadatnya yang membentuk masyarakat Indonesia. Kebiasaan yang dipraktikkan bangsa Indonesia merujuk pada budaya di masing-masing suku. Hal inilah yang menjelaskan bahwa kebudayaan membentuk karakter bangsa Indonesia. Kebudayaan itulah yang sebenarnya menjadi jati diri masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Duta Kesenian Kota Denpasar Pentaskan Tiga Kesenian Klasik pada Rakernas X JKPI 2023
Pemajuan kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017, membutuhkan peran aktif masyarakat sebagai subjek yang diharapkan memiliki karakter sesuai kebudayaan Indonesia. Pelestarian budaya Indonesia mengharuskan generasi yang lebih tua mengajarkan warisan budaya ini kepada generasi yang lebih muda.
Praktisi pendidikan yang juga seniman, E Sumadiningrat mengingatkan pentingnya membangun kebanggaan atas budaya Indonesia. Menurut Sumadiningrat, rasa bangga atas budaya bangsa ini bisa dikembangkan dengan mengembangkan konten-konten seputar budaya melalui media sosial yang kini marak digunakan generasi Z Indonesia.
Sejalan dengan semangat pemajuan kebudayaan, pendidikan seputar nilai-nilai budaya Indonesia harus dimulai sejak dini. Harus diakui, menguatnya tren gaya hidup modern yang kebarat-baratan, menjadikan sebagian generasi muda Indonesia kurang mengenal budaya daerahnya sendiri. Selain tak mengenal, mereka juga enggan mempelajari dan melestarikan budaya Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, internalisasi pemahaman kebudayaan Indonesia sebagai karakter dan jati diri bangsa bisa harus diperkuat dalam semangat nasionalisme. Kekuatan alami bangsa Indonesia bermula dari kekayaan budaya di masing-masing suku. Perbedaan suku, agama, latar belakang ekonomi, dan politik justru menjadi modal untuk memperkuat persatuan Indonesia yang dibangun di atas perbedaan. Pengikat dari seluruh perbedaan tersebut adalah nasionalisme.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia berelasi kuat dengan semangat nasionalisme. The founding fathers Indonesia tidak memilih agama maupun sekulerisme sebagai dasar negara. Namun merumuskan sendiri dasar negara bernama Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia. Pancasila inilah yang mengikat bangsa Indonesia. Kekayaan budaya dan tradisi suku-suku di tanah air diikat dalam satu semangat yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika.
Baca Juga: Diikuti 10 Ribu Orang, Tari Montro Kolosal di Bantul Pecahkan Rekor MURI
Kekayaan budaya dan tradisi di Indonesia, bisa menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan karakter anak bangsa. Dengan menjadikan budaya sebagai referensi pembangunan karakter, maka budaya tersebut akan selalu diingat dan dilestarikan dari waktu ke waktu. Dari sekian banyak produk budaya asli Indonesia, wayang kulit menjadi salah satu referensi dalam pengembangan karakter anak bangsa.
Dialog yang terbangun dalam pementasan wayang kulit kerap menyuratkan pesan penting bagi pemirsanya. Salah satu cerita pewayangan berjudul “Arjuna Wiwaha” bisa menjadi referensi dalam menjelaskan pentingnya figur yang mumpuni dan layak dijadikan anutan untuk kemudian dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa.
Lebih lanjut, budayawan Sudarko Prawiroyudo bahkan menyebut, setiap pergelaran wayang kulit selalu menyentuh lima wujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lima wujud tersebut adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan nasional.
Sudarko mencontohkan bahwa wujud dialog ideologi Pancasila berupa plural, egaliter, dan gotong royong tecermin dalam pewayangan berlatar negara atau kerajaan Indraprasta. Negara ini sangat plural sebagai tempat bermukim manusia, yakni pandawa, raksasa, dan jin. Mereka bersatu untuk mendirikan kerajaan tersebut.
Tantangan Indonesia dalam melestarikan budaya tidaklah mudah. Banyaknya kebudayaan di Indonesia membuka kemungkinan bagi negara lain untuk mengakuinya, terutama negara tetangga. Oleh sebab itu, generasi muda perlu ikut serta dalam usaha menjaga keamanan budaya dengan mempraktikkan cara berbahasa, menjadi pelaku seni budaya, hingga menjadi penikmat budaya Nusantara sehingga budaya tidak mudah diambil atau diakui oleh negara lain.
Globalisasi yang terjadi saat ini harus direspons dengan memperkuat benteng kebudayaan berciri ke-Indonesiaan. Rasa bangga terhadap budaya bangsa disertai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Modernisme merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak di tengah dinamika zaman. Namun jati diri bangsa Indonesia sebagai manusia berbudaya harus tetap ditanamkan di benak generasi muda. Artinya, ke manapun anak-anak muda ini pergi dan berkarya, mereka tetap menjaga warisan luhur nilai-nilai budaya Nusantara.