Suara.com - Menyikapi hilangnya 1.324 hektar hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh Forum Jurnalis Lingkungan (FLJ) memutar film dokumenter independen Demi Sawit, yang memperlihatkan lahan hutan berubah jadi kebun sawit.
Menurut Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) luas hutan yang hilang ini setara dengan lima kali luas kompleks Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta. Terkikisnya ribuan hektar hutan ini terjadi hanya dalam lima tahun terhitung sejak awal 2019 hingga Juni 2023.
"Film ini kami buat setelah beberapa kali meliput langsung ke kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, sehingga timbul rencana ingin membuat sebuah karya visual dalam bentuk film indept dokumenter, sejak beberapa tahun terakhir," kata Koorinator FJL Aceh, Munandar Syamsuddin melalui rilis kampanye penyelamatan Rawa Singkil bertajuk Karpet Merah di Lahan Basah, Kamis (27/7/2023).
Munandar mengatakan film ini menggambarkan kondisi terkini Rawa Singkil yang semakin terancam dengan perambahan dan alih fungsi hutan ke lahan sawit.
Baca Juga: Punya Lokasi yang Kaya Budaya dan Panorama, Industri Film Kaltim Disorot Nasional
Melalui film ini terungkap bagaimana Rawa Singkil dirambah untuk sawit. Aparat desa yang dibekingi oknum tertentu termasuk pejabat mudah sekali menjual tanah di kawasan suaka margasatwa itu ke pemodal untuk dijadikan perkebunan sawit.
"Ada ancaman ketika kami datang membawa kamera, butuh waktu untuk menjelaskan dan memahamkan masyarakat di sana. Itu posisi kami sangat was-was, tapi kami dan kawan-kawan Forum Jurnalis Lingkungan sangat intens dengan isu-isu lingkungan, jadi kami tetap memberanikan diri masuk untuk memberikan informasi ke masyarakat apa yang sebenarnya terjadi," kata Munandar.
"Saya bisa katakan kalau di Meksiko ada kartel narkoba, di Aceh khususnya Rawa Singkil sekarang ada semacam kartel sawit mungkin," lanjutnya.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal mengatakan bahwa Rawa Singkil masih bermasalah dengan tapal batas. Kemudian masalah penegakan hukum yang tebang pilih, hanya menyasar masyarakat biasa saja, membuat perambahan Rawa Singkil terus terjadi.
"Yang perlu diketahui bahwa warga biasa hanya melakukan perambahan di pinggiran saja, tetapi yang masuk ke dalam kawasan inti Rawa Singkil dengan membawa ekavator untuk membuka jalan dan saliluran, ini patut dipertanyakan," ujar Afifuddin.
Baca Juga: Baru Lima Hari Penayangan, Film Barbie Cuan Rp 7,05 Triliun
Afifudiin bercerita pada November 2016, pernah tim BKSDA dan polisi mengamankan beberapa pekerja dan alat berat yang sedang merambah Rawa Singkil.
"Anehnya alat berat eskavator yang sudah disita polisi di lokasi tiba-tiba hilang tanpa jejak. Ini salah satu bukti ada yang bermain di Rawa Singkil," kata Afifuddin.
Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nurazizah Rahmawati mengatakan bahwa Rawa Singkil harus diselamatkan dengan melibatkan semua pihak.
Salah satu solusi dengan penegakan hukum terhadap pelanggar perambahan hutan, melakukan pendekata dan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak begitu saja menjual tanah di kawasan konservasi itu walaupun masuk dalam batas desa mereka.
"Masyarakat yang tinggal di situ sebenarnya tak ingin (perambahan) ini berlanjut, tapi kemudian kemana suara ini disampaikan? Apakah ini sudah didengar oleh pemerintah daerah di sana? Ini perlu juga dibuat salurannya," kata Nurazizah.
Menurutnya selama ini yang paling merasakan dampak dari deforestasi Rawa Singkil adalah masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
"Yang duluan kena banjir kan warga kita di sana," tambah Nurazizah.