Suara.com - Sebagai bentuk penghargaan tertinggi atas pencapaiannya yang secara konsisten mengamati, mengkritisi, dan menyuarakan kemaritiman di Indonesia khususnya dan internasional umumnya, Direktur Urusan Luar Negeri CMR University India, Prof. Vinayak Khrishnamurthy menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada pengamat maritim dari Indonesia, Dr. (H.C.) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar.
Acara pengukuhan dilaksanakan Senin (3/7/2023) di CMR University, Bangalore, India, dengan penyerahan ijazah kepada Marcellus Hakeng oleh Khrishnamurthy.
"Saya sampaikan ucapan terima kasih pada CMR University atas penghargaan Gelar Doktor Honoris Causa bidang Maritim yang diberikan kepada saya. Penghargaan ini diberikan oleh Universitas CMR - India yang telah terkenal reputasinya dalam melahirkan banyak pemikir dan pemimpin di dunia," ujar Marcellus Hakeng dalam keterangannya.
Menurutnya, selama lebih dari 25 tahun menekuni dunia maritim, ia pernah menjadi nakhoda di atas kapal-kapal niaga, mulai dari kapal kecil hingga kapal super tanker di banyak belahan dunia.
Baca Juga: Berperan dalam Filantropi, Northern Illinois Anugerahi Gelar Doktor HC pada GKR Mangkubumi
Mengutip pidato proklamator RI Soekarno pada 23 September 1963, bahwa Indonesia adalah bangsa pelaut dan dikenal sejak dahulu kala sebagai bangsa maritim.
Dalam inaugurasi, Hakeng juga menyampaikan pandangan seputar isu-isu kemaritiman, seperti urgensi penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangganya, pengelolaan sumber daya perikanan indonesia, hingga ekspor pasir laut.
Persoalan utama di sektor maritim yang rentan terhadap gangguan keamanan adalah penyelesaian Batas Wilayah Laut Indonesia dengan negara-negara tetangganya.
"Saya ingin memberikan penekanan, betapa saat ini kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang berada di perairan Natuna seringkali memunculkan masalah. Wilayah tersebut kaya akan sumber daya perikanan serta sumber daya alam lainnya, sehingga seringkali menjadi incaran negara lain serta tentunya kapal-kapal ikan asing untuk mengeksploitasinya," katanya.
Pokok masalah terbesar di sana adalah belum disepakatinya batas wilayah laut dengan masing-masing Negara tetangganya yang saling melakukan klaim sepihak atas wilayah tersebut.
Baca Juga: Hubungan Rumit Luhut dan Haris Azhar: Bantu Dorong Ambil Gelar Doktor di Harvard
Terletak diantara simpangan dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan dua benua, yakni Benua Asia dan Benua Australia, wilayah maritim Indonesia yang luas memiliki banyak potensi sumber kekayaan alam seperti potensi energi dan potensi protein ikan.
"Baru sekitar 10% saja dari potensi Rp1.200 triliun sumber daya maritim yang berhasil dikelola oleh Indonesia. Itupun sebagian besar masih sebatas dikomersialkan dalam bentuk bahan mentah saja, belum sampai ketahap pengelolaan lebih lanjut sehingga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi," ungkapnya.
Pendiri dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
"Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Salah satu point di PP Nomor 26 Tahun 2023 tersebut diperbolehkan ekspor pasir laut ke Singapura. Menurut pandangan saya PP tersebut berpotensi merugikan Indonesia baik dari sisi Ketahanan Nasional hingga sisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan," ungkap Hakeng.
"Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan Negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura," tambahnya.
"Saya memiliki keyakinan bahwa jalur Indonesia menjadi bangsa yang besar adalah dengan menjadi bangsa maritim," pungkasnya.