Suara.com - Sampah masih menjadi salah satu permasalahan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dirilis pada tahun 2021, sampah di Indonesia telah mencapai 67,8 juta ton sampah, kemudian naik menjadi 70 juta ton sampah pada 2022.
Dari sekian banyak sampah di atas, sampah plastik masih menjadi kontributor terbesar dalam meningkatnya total keseluruhan jumlah sampah di ranah nasional. Padahal, jika terkelola dengan baik, sampah plastik dapat dimanfaatkan kembali menjadi bahan baku kemasan produk baru ataupun barang lain yang bernilai ekonomi serta dapat menjadi sumber mata pencaharian baru di sektor informal.
Hal inilah yang dilakukan oleh Ibu Wahyuni, 45 tahun, yang telah menjadi pengumpul sampah lebih dari 12 tahun.
“Pekerjaan suami yang tidak menentu, membuat kami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta biaya pendidikan anak-anak. Kondisi ini mendorong saya untuk mencari tambahan pemasukan dengan menjadi pengumpul sampah. Meski penghasilannya tidak seberapa dan risiko pekerjaannya tinggi tetap saya tetap lakukan agar keluarga bisa makan dan anak-anak bisa sekolah,” ujar Ibu Wahyuni, mengutip keterangan tertulis.
Baca Juga: Cegah Persoalan Banjir, Kajol Indonesia Ajak Masyarakat Untuk Tidak Membuang Sampah di Sungai
Tak dapat dipungkiri, pekerjaan sebagai pengumpul sampah menempatkan Bu Wahyuni pada posisi yang sangat rentan. Awal mula bekerja sebagai pengumpul sampah, Ibu Wahyuni mengaku sering sakit, mulai dari gatal-gatal, batuk juga diare. Kondisi itu mungkin terjadi karena ia bersentuhan langsung dengan sampah setiap hari, tanpa menggunakan pelindung.
Namun kini, setelah menjadi salah satu penerima manfaat dalam program Inclusive Recycling Indonesia (IRI), segala risiko di atas dapat diminimalkan. Hal ini karena Ibu Wahyuni telah mendapat pendampingan dan binaan, sehingga lebih mengerti tentang kesehatan.
Dari program IRI ini, Ibu Wahyuni menyadari pentingnya bekerja menggunakan alat pelindung diri sehingga ia dan teman-teman pemulung bisa bekerja dengan aman dan nyaman.
“Pada saat itu, awal mula pandemi Covid-19, banyak sekali informasi kesehatan yang beredar. Saya tidak tahu yang mana yang benar dan bisa dipercaya. Sampai saat tim IRI menghampiri kami menjelaskan cara bekerja yang aman pada masa pandemi dengan ringan dan mudah dipahami. Di saat kami kesulitan untuk mencari masker, karena mahal dan langka, tim IRI memberikan masker untuk kami. Meski sederhana, kami betul-betul merasa terbantu. Selain itu, pada saat kami kesulitan mendapatkan penghasilan di masa pandemi, kami juga rutin mendapatkan bantuan sembako dari tim IRI,” papar Wahyuni.
Selain memberikan pemahaman yang lebih baik dari segi kesehatan, Program IRI juga membantu anggotanya untuk mengatur keuangan dengan baik. Anggotanya juga diajari menyisihkan penghasilan untuk ditabung.
“Di lain hari saya merasakan kembali manfaat dari pendampingan IRI, saat itu saya kebingungan untuk membayar biaya sekolah anak saya, saya mencoba mencari pinjaman ke sanak saudara dan kerabat tapi tidak ada yang bisa membantu. Tapi, kemudian saya ingat kalau saya masih punya tabungan rutin yang saya sisihkan setiap minggu. Nah, dengan tabungan itulah saya membayar sekolah anak saya dan membelikan handphone baru untuk keperluan sekolah online anak saya. Rasanya benar-benar terbantu sekali karena anak saya tidak harus putus sekolah.” ungkap Bu Wahyuni.
Program IRI merupakan bagian dari gerakan #BijakBerplastik Danone-AQUA, yang bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan plastik, terutama untuk jenis Polyethylene terephthalate (PET), dengan cara meningkatkan produktivitas 10 pelapak besar (waste collection center) yang bergerak dalam bidang pengumpulan sampah botol plastik.
Program ini digagas oleh Danone-AQUA, Danone Ecosystem dan Veolia melalui kerjasama dengan Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia (YPCII) ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, recycle (TPS3R) di tingkat desa dan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) pada tingkat kecamatan, serta sejumlah lapak yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Hingga saat ini, sebanyak 1.045 orang pemulung perempuan telah tercatat sebagai peserta aktif di sejumlah lapak yang tersebar mulai dari Semarang, Jawa Tengah, Malang, Jawa Timur, hingga Palu, Sulawesi Tengah.