Suara.com - Film Pepadu, karya Sutradara M. Muslimin asal Lombok dan Sailum: Song of The Rustling Leaves, karya Sutradara Felix K. Nesi dan Moses Parlindungan Ompusunggu asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ditetapkan sebagai Film Terpilih Festival Film Bulanan (FFB) Lokus 4.
Kedua film ini memberikan gambaran tentang kebudayaan. Hal tersebut dikemukakan dosen Film dan Televisi dan Resensator Film, Mohamad Ariansah, yang dalam Festival Film Bulanan ini juga berlaku sebagai kurator.
“Dua film itu, yaitu Pepadu dan Sailum: Song of The Rustling Leaves menarik, sebab mampu memberikan potret lain tentang film pendek Indonesia, yang biasanya didominasi oleh kebudayaan Jawa. Para kreator dua film tersebut mampu mengemas budaya, mengemas ide, cara bertuturnya, dan mengemas visualnya secara menarik,” kata Ale, sapaan akrab Mohamad Ariansah.
Ia mengaku takjub dengan karya yang dibuat oleh Sutradara M. Muslimin asal Lombok, yang berjudul Pepadu. Film ini dinilai Ale memiliki kekuatan cerita, yang mengangkat tentang isu kekerasan.
“Film Pepadu dari Nusa Tenggara Barat (NTB) menampilkan isu tentang kekerasan, tapi pada saat yang sama, si tokoh harus kembali mengulang kesalahan karena keterpaksaan terhadap keadaan. Film ini memiliki isu yang kuat,” jelas Ale.
Sementara untuk Sailum: Song of The Rustling Leaves karya Sutradara Felix K. Nesi dan Moses Parlindungan Ompusunggu, menurut Ale dibuat dari seseorang yang sudah punya pemikiran kuat, yang menggunakan film sebagai peluru untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut.
"Imajinasi menarik, kesannya poetic. Aku suka tawaran ceritanya tentang pro kontra Timor Timor yang lepas dari Indonesia,” terang Ale.
Senada dengan Ale, salah satu kurator yang juga merupakan Senior Business Development Manager of IDN Media, Rahma Guntari mengatakan, film-film pendek yang dihasilkan dari lokus 4 ini di luar ekspektasi.
Rahma menyampaikan, Sailum: Song of The Rustling Leave mampu memberikan ide penuturan yang unik.
Baca Juga: Festival Film Balinale ke-16 Akan Digelar pada 1-4 Juni 2023
“Film ini seperti menyampaikan kritik, tapi disampaikan melalui habit yang orang belum bisa menerima atau tabu, justru di sana (NTT), tradisi itu biasa saja,” ujar Rahma.