Memoar Kadiroen Berjalan Sampai ke Batas Pelopori Tulisan Sejarah Keluarga buat Indonesia

Kamis, 23 Maret 2023 | 10:16 WIB
Memoar Kadiroen Berjalan Sampai ke Batas Pelopori Tulisan Sejarah Keluarga buat Indonesia
Bedah buku Berjalan Sampai ke Batas, di Departemen Sejarah - Fakultas Ilmu Budaya  - UI, Selasa (21/3/2023). (Dok: FIB UI)

Suara.com - Buku bertitel Berjalan Sampai ke Batas menceritakan perjalanan panjang seorang rakyat Indonesia biasa kelahiran Demak, Jawa Tengah, bernama Kadiroen Kromodiwirjo (1898 – 1986). Buku otobiografi yang mengisahkan Kadiroen, lulusan Sekolah Angka Satu (Ongko Siji) 1906 – 1911 ini, dimulai dari kisahnya menjadi pegawai di perusahaan kereta api SCS (Semarang Cirebon Stoomtram Maatschappij), lantas kemudian aktif di pergerakan Sarekat Islam di Kaliwungu, Semarang.

Ia tumbuh berkembang menjadi sosok pribadi yang jujur, ulet, tekun dan bekerja keras, berpendirian teguh dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang diyakininya. Bagaimana kemudian ia menjadi seorang pejuang politik nasionalis yang tanpa kompromi mencita-citakan Indonesia merdeka.  Sampai akhirnya tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan anggota dan aktivis pergerakan nasional, yang kemudian dibuang ke Digul, Irian Barat (1928).    

Menurut pandangan Guru Besar Sejarah dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Susanto Zuhdi, buku ini menarik untuk dibaca, karena ditulis oleh seorang masyarakat biasa.

“Kadiroen menulis kisah biografinya dengan kesadaran sendiri, tanpa ada permintaan dari pihak lain. Ia mewariskan nilai-nilai penting kepada keturunannya kelak, ia juga menyajikan fakta seperti sanggup hidup bertahan di dalam kamp pembuangan di masa lalu (Digul yang hutan belantara dengan masih tinggi kemungkinan terjangkit malaria atau meninggal karena dimakan Binatang buas). Sehingga di masa kini kisah tersebut diteladani, dengan sebaiknya  tidak mudah berputus asa saat kita menghadapi kondisi yang cukup sulit,” katanya.

Susanto menjadi pembahas dalam serial Bincang Sejarah ke-15 dan bedah buku Berjalan Sampai ke Batas, Kisah Nyata seorang Digulis, yang diasingkan ke Boven Digul, Papua, diadakan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) bekerjasama dengan keluarga besar Kadiroen Kromodiwirjo, di Departemen Sejarah - Fakultas Ilmu Budaya  - UI, Selasa (21/3/2023).

Tampil sebagai pembicara utama Duta Besar Triyono Wibowo, serta pembahas Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, Guru Besar Sejarah dari Universitas Diponegoro.

Susanto mengakui, masyarakat Indonesia dinilai masih lemah dalam penulisan sejarah keluarga. Berbeda kondisinya dengan masyarakat di luar Indonesia, menceritakan kisahnya menjadi buku adalah hal yang biasa (lazim). 

“Ada kendala dalam penulisan kisah sejarah keluarga. Pertama, kendala sikap Bangsa Indonesia yang “terkesan sombong” apabila bicara mengenai diri sendiri dan keluarganya," katanya.

Kedua, sebagai sumber utama, tidak semua orang mampu menuliskan kisahnya secara detail. Selama ini apabila menggali informasi, perlu bertanya langsung kepada pelaku sejarah, karena apabila tidak diungkapkan, maka fakta tersebut tidak muncul (tampak). 

Baca Juga: Sejarah Pajak di Indonesia, Mulai Zaman Kerajaan Hingga Indonesia Merdeka

Baik Susanto maupun Singgih sepakat, nilai-nilai yang diwariskan oleh Kadiroen berada pada tataran di lingkungan mana sejarah tersebut bermakna, pada konteks peristiwa atau zamannya.  

Memoar dengan Value

Singgih melihat memoar asli yang kemudian dibukukan melalui proses panjang selama beberapa tahun ini (ditulis Oktober 1976 dan menjadi buku November 2022) menyiratkan sejumlah value yang menggambarkan kuatnya tokoh Kadiroen.

“Karya ini menjadi penting dari segi sejarah, politik dan kondisi ekonomi pada masa itu. Berbagai aspek yang dikemukakannya seperti dalam aspek sejarah keluarga, menjadi referensi bagi lahirnya karya-karya serupa di dalam negeri, sehingga memperkuat dokumentasi arsip berskala nasional," katanya.

Kadiroen menjadi saksi dan pelaku sejarah yang memberikan berbagai informasi berharga di masa tersebut, kendati menjadi dokumen sejarah tertulis yang sifatnya subyektif. Buku ini mengungkapkan kekuasaan kolonial Pemerintah Hindia Belanda di mata “wong cilik.”

Sebagai pembicara utama, Triyono mengemukakan, sejarah tidak pernah memiliki kata akhir atau batas waktu. Dia akan selalu terbuka terhadap temuan baru dan tafsiran baru yang muncul kemudian. Penangkapan dan pembuangan orang-orang pergerakan nasional  menentang  penjajahan Belanda ke Kamp Konsentrasi Boven Digul tidak banyak tampil dalam diskursus sejarah kemerdekaan kita.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI