Suara.com - Film sejarah merupakan salah satu film yang sering diputar di bulan-bulan seperti Agustus dan September, baik di televisi yang memutar film-film lama maupun di bioskop untuk film baru. Genre film sejarah pun bermacam-macam, ada yang action, drama hingga komedi.
Temanya pun bervariasi, mulai dari yang fokus pada percintaan dengan mengambil latar belakang peristiwa sejarah, hingga murni mengangkat peristiwa itu sendiri. Apapun itu, film sejarah menjadi khazanah yang memperkaya industri sinema di tanah air.
CEO Bawana Entertainment, Muchamad Nur Wachid mengatakan sebagaimana sebuah karya seni, film tidak bisa dilepas dari riset dan peluang pasar. Sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI, Arifin C Noer, sebagaimana diceritakan oleh istrinya Jajang C Noer, mengaku bahwa hal yang paling menyulitkan dan menyita waktu adalah riset dan casting. Sutradara kawakan ini kesulitan mendapatkan data-data dari pelaku sejarah, khususnya dari pihak PKI karena rata-rata mereka memilih untuk bungkam. Namun seperti kita ketahui, film yang sering diputar setiap tanggal 30 September ini merupakan film kolosal yang memang bertujuan untuk edukasi sejarah dengan genre dokudrama (dokumenter drama). Tidak ada data yang pasti bagaimana film ini dari sisi bisnis.
Data yang dihimpun dari berbagai sumber, film-film bertema kemerdekaan atau kepahlawanan dari tahun 2007-2022 yang menjadi box office sangat sedikit. Film-film tersebut adalah Nagabonar Jadi 2 (yang sedikit mengutip tentang peristiwa sejarah, lebih banyak ke rasa nasionalisme), dan Rudy Habibie (yang menggambarkan peristiwa penjajahan Jepang di awal film). Kedua film ini meraih penonton berdasarkan penjualan tiket 1 juta dan 2 juta penonton. Lalu, bagaimana kabar film-film kemerdekaan lain seperti Merah Putih, Sultan Agung, Darah Gadura, Tjokroaminoto, Perburuan, Hati Merdeka, atau The East?
“Dari sisi pemain, hampir rata-rata adalah aktor/artis kawakan. Sebut saja pemeran Rudy Habibie dan Tjokroaminoto adalah sama-sama Reza Rahardian. Kenapa yang satu sukses dan yang satu tidak berhasil menciptakan hits? Bagaimana selera pasar orang Indonesia dalam mengkonsumsi film-film kemerdekaan dan kepahlawanan?,” ucap Nur Wachid dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Selasa (11/10/2022).
Ia menuturkan, jika kita lihat data lagi, cukup miris karena mayoritas film yang paling laris ditonton adalah film horor dan percintaan. “Masyarakat kita sangat suka membayar untuk ditakut-takuti dan membayar untuk menjadi mellow alias sedih. Tapi masyarakat tidak mau membayar untuk sebuah pengetahuan mengenai sejarah. Barangkali bagi mereka, sejarah adalah masa lalu, sedangkan film horor dan drama percintaan adalah masa kini dan masa depan,” terang Nur Wachid.
Sebagaimana sebuah bisnis, film adalah produk kapitalis yang biar bagaimanapun tetap mencari profit dibalik sebuah karya. Idealisme terkadang memang jarang (tidak) bertemu dengan selera pasar.
Menurut Nur Wachid, film sejarah bisa menjadi laris setidaknya jika didukung dua faktor unsur percintaan dan unsur horor. “Tentu sangat aneh kalau ada film sejarah namun ada fragmen penampakan hantunya. Satu-satunya yang “realistis” adalah memasukkan unsur sejarah dengan drama percintaan. Sebab, cerita cinta memang selalu menarik untuk ditonton,” ungkapnya.
Unsur percintaan seperti apa yang mengundang antusiasme publik? Pertama, yang relevansinya kuat dengan kekinian. Kisah cinta Habibie-Ainun, meski terjadi di masa lalu, namun masih mirip dengan kondisi saat ini yang dialami generasi milenial maupun generasi X.
Baca Juga: Sukses Jadi Film Terlaris, KKN di Desa Penari Akan Hadir Versi Panjang Akhri Tahun Ini
“Tidak heran jika film ini masuk menjadi box office pada tahun tersebut. Maka, film sejarah tetap berpeluang mencetak profit tanpa meninggalkan idealisme dan nilai-nilai nasionalismenya, dengan memasukkan unsur-unsur yang “marketable” dan sesuai selera pasar,” pungkas Nur Wachid.