Suara.com - Sepanjang 2022 ini, di seluruh dunia terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan startup, terutama di sektor teknologi. Lalu, bagaimana peluang para eks-startup ini untuk kembali mendapatkan pekerjaan, terutama para founder startup yang perusahaannya terpaksa tutup karena kekurangan pendanaan atau faktor lain?
Sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat, menunjukan kondisi anomali. Riset bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” yang baru saja dirilis itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33 persen untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif.
Karena, menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Lalu, apakah fenomena ini juga terjadi di Indonesia?
Meski hasil survey ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia.
“Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat.”
Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup, punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya.
“Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru,” katanya lagi.
Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University. Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi.