Oleh karena itu, menurut Tjahjanto, selain bertujuan mengantisipasi negative externality, pelabelan BPA bisa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan rintangan itu.
“Masyarakat jadi bisa lebih memilih, sehingga artinya tidak ada lock-in.”
Dalam webinar yang sama, peneliti administrasi hukum dari Fakultas Ilmu Administrasi UI, Ima Mayasari menyatakan, Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan telah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan olahan.
“Benchmark-nya sudah dilakukan di negara-negara lain,” katanya yang menyebut sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Denmark, Swedia, Austria, dan Belgia.
Sebuah peraturan yang baik, menurut Ima, saat ini harus didesain dengan mempertimbangkan praktik-praktik terbaik di dunia internasional.
“Bukan saatnya lagi kita hanya melihat lingkup nasional.”
Selain itu, dari proses perumusan, penyusunan, hingga harmonisasi, Ima memandang BPOM telah mempraktikan praktik-praktik terbaik, seperti melakukan berbagai kajian ilmiah dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
“Saya melihat rancangan peraturan BPOM ini lahir dengan evidence-based policy making dan stakeholders engagement yang sangat kuat. BPOM bahkan sampai melakukan pengecekan di dalam laboratorium terkait dengan paparan BPA itu sendiri,” tambahnya.
Menanggapi kenyataan bahwa rancangan peraturan BPOM itu belum juga disahkan sejak dirilis untuk konsultasi publik pada November tahun lalu, Ima menyatakan hal itu masih dalam batas kewajaran.
Baca Juga: Peduli Kesehatan dan Isu Lingkungan, Perusahaan Air Minum Ini Berkomitmen Hadirkan Hidrasi Sehat
“Saya rasa itu masih dalam proses ya, karena sekarang kan setiap peraturan kementerian dan badan harus melalui persetujuan Presiden dulu.”