Rencana Pelabelan BPA oleh BPOM, Pakar UI: Justru Akan Membuat Pasar Air Minum Galon Lebih Sehat

Jum'at, 22 April 2022 | 14:03 WIB
Rencana Pelabelan BPA oleh BPOM, Pakar UI: Justru Akan Membuat Pasar Air Minum Galon Lebih Sehat
Ilustrasi galon. (Elements Envanto)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rencana pelabelan bisphenol-A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai akan membuat pasar AMDK galon lebih sehat. Hal ini dikemukakan pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Tjahjanto Budisatrio.

“Persaingan yang sehat akan terjadi, jika konsumen makin sadar akan kesehatannya,” kata Tjahjanto, dalam webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights, sebuah lembaga riset dan advokasi berbasis Jakarta, dengan tema “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat”, Jakarta, Kamis (21/4/2022).

Menurut Tjahjanto, pelabelan BPA akan membuat orang sadar untuk memilih, apakah dia menginginkan produk yang sudah berlabel dan tahu implikasi kesehatannya, atau produk yang tidak mengandung BPA. Pada saat yang sama, produsen produk yang mengandung BPA pun akan terdorong untuk memperbaiki produknya dan berinovasi untuk dapat tetap bersaing.

“Inilah kondisi yang disebut dalam dunia ekonomi sebagai contestable market,” Inilah kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat,” katanya.

Baca Juga: Peduli Kesehatan dan Isu Lingkungan, Perusahaan Air Minum Ini Berkomitmen Hadirkan Hidrasi Sehat

BPA sendiri merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut bisa menyebabkan, antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.

Fakta ilmiah tersebut, menurut Tjahjanto, menimbulkan kondisi yang dalam dunia bisnis disebut dengan negative externality, atau kondisi munculnya dampak negatif dari aktivitas usaha. Ketika kondisi ini terjadi, pemerintah harus ikut masuk untuk memperbaikinya.

“Kondisi tersebut bisa menimbulkan kegagalan pasar atau market failure di masa depan,” katanya.

Di sisi lain, Tjahjanto menilai, pasar AMDK galon di Indonesia sebenarnya relatif kurang sehat. Ini terjadi akibat yang disebut lock-in (penguncian pelanggan) pada produk tertentu.

Konsumen harus mendeposit sejumlah uang untuk mendapatkan galon A, tetapi tidak bisa menukarnya dengan galon B jika galon A tidak ada di toko.

Baca Juga: Tips Cek Kualitas Air Minum di Rumah dengan Mudah, Lakukan 4 Tahap Berikut Ini

“Adanya lock-in dan kemudian biaya penggantian (switching cost) menciptakan rintangan untuk masuk pasar (barrier to entry), dan produsen yang melakukan lock-in secara kuantitas akan menjadi sangat dominan di dalam pasar ini. Dalam teori, kondisi ini disebut oligopoli model Stackelberg,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Tjahjanto, selain bertujuan mengantisipasi negative externality, pelabelan BPA bisa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan rintangan itu.

“Masyarakat jadi bisa lebih memilih, sehingga artinya tidak ada lock-in.”

Dalam webinar yang sama, peneliti administrasi hukum dari Fakultas Ilmu Administrasi UI, Ima Mayasari menyatakan, Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan telah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan olahan.

“Benchmark-nya sudah dilakukan di negara-negara lain,” katanya yang menyebut sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Denmark, Swedia, Austria, dan Belgia.

Sebuah peraturan yang baik, menurut Ima, saat ini harus didesain dengan mempertimbangkan praktik-praktik terbaik di dunia internasional.

“Bukan saatnya lagi kita hanya melihat lingkup nasional.”

Selain itu, dari proses perumusan, penyusunan, hingga harmonisasi, Ima memandang BPOM telah mempraktikan praktik-praktik terbaik, seperti melakukan berbagai kajian ilmiah dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

“Saya melihat rancangan peraturan BPOM ini lahir dengan evidence-based policy making dan stakeholders engagement yang sangat kuat. BPOM bahkan sampai melakukan pengecekan di dalam laboratorium terkait dengan paparan BPA itu sendiri,” tambahnya.

Menanggapi kenyataan bahwa rancangan peraturan BPOM itu belum juga disahkan sejak dirilis untuk konsultasi publik pada November tahun lalu, Ima menyatakan hal itu masih dalam batas kewajaran.

“Saya rasa itu masih dalam proses ya, karena sekarang kan setiap peraturan kementerian dan badan harus melalui persetujuan Presiden dulu.”

Sementara itu, masih dalam webinar yang sama, Manager Regional PT. Sariguna Primatirta Tbk, produsen AMDK galon “Cleo”, Yohanes Catur Arkiyono, mengatakan pihaknya mendukung penerbitan peraturan BPOM terkait kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon.

“Kami sudah sejak 2003 memproduksi galon non-BPA karena mengantisipasi perkembangan soal BPA ini di dunia internasional,” katanya.

Yohanes juga menyarankan pengusaha AMDK galon, agar mereka tidak perlu khawatir dengan rencana regulasi BPOM tersebut. Ini karena regulasi tersebut demi kesehatan konsumen dan bisa mendorong mereka untuk terus berinovasi.

“Pelaku usaha yang menggunakan galon polikarbonat tapi paparan BPA-nya masih di bawah batas yang ditetapkan BPOM, kenapa mesti khawatir?”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI