Suara.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Ahli Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyoroti soal budaya feodal yang masih mengakar dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Ia pun menyatakan perlu dibentuk adanya penataan kembali institusi negara.
Warisan budaya feodal ini, kata Jimly Asshiddiqie membuat ongkos demokrasi menjadi mahal. Sehingga faktor ekonomi berkembang semakin penting perannya dalam politik di Tanah Air.
"Sehingga konflik kepentingan antara bisnis dan politik terus berkembang luas dalam praktik berdemokrasi ini," kata Jimly Asshiddiqie dalam Seminar Pra Muhtamar Muhammadiyah Aisyiyah ke-48 bertajuk 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia' di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), baru-baru ini.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan kondisi sekarang ini penerapan aturan konstitusional yang baru menghadapi banyak kendala. Misalnya, banyak urusan ditangani terlalu banyak oleh konstutusi, tetapi banyak urusan yang tidak terurus dan tidak ada lembaga yang bertanggung jawab menanganinya.
"Problem warisan budaya feodal yang terus dominan pengaruhnya dalam politik dan dengan mudah mempengaruhi terbentuknya sistem dinasti dalam politik nasional dan daerah di seluruh Indonesia," ujar Jimly Asshiddiqie.
"Kendala lainnya, makin kuatnya pengaruh modal, sehingga berkembang kenyataan bahwa dunia usaha semakin dominan pengaruhnya dalam proses-proses demokrasi politik bernegara," katanya menambahkan.
Jimly kemudian menyarankan, keterpaduan sistem hukum perlu ditata dengan menggunakan metode "omnibus law" secara lurus dan benar. Hal ini perlu untuk kepentingan penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju dan berkembang dalam jangka panjang.
"Jadi bukan untuk kepentingan sempit dan jangka pendek untuk golongan sendiri, apalagi untuk pribadi," imbuh Jimly Asshiddiqie
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu'ti memberikan alasan mengenai tema "Rekonstruksi Sistem Ketatanegeraan Indonesia" dalam seminar kali ini. Ia melihat ada gejala deviasi, distorsi, dan distruksi dalam sistem ketatanegaraan kita.
"Tema ini secara khusus diangkat untuk bagaimana melihat komprehensif sistem ketatanegaraan kita," ujar Mu'ti di acara yang sama.