Suara.com - Toxic masculinity sebenarnya justru kontra produktif terhadap operasional perusahaan sehingga harus dibenahi. Kenapa demikian dan bagaimana cara mengatasinya?
"Toxic masculinity ini merupakan anggapan yang salah kaprah tentang bagaimana seorang laki-laki harus bersikap. Seperti misalnya anggapan di masyarakat bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Tentu anggapan tradisional maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja," ungkap Maya Juwita, Direktur Eksekutif, Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), dalam rilisnya kepada media, belum lama ini.
Dampak toxic masculinity adalah adopsi perilaku negatif pada laki-laki yang berbahaya bagi perempuan, masyarakat maupun laki-laki itu sendiri. Bentuk adopsi perilaku negatif ini bisa berupa tampilan dominasi yang tak diinginkan, pengambilan risiko yang tak bertanggung jawab, dan kebencian terhadap perempuan. Lebih lagi, perilaku bias yang negatif ini dapat tertanam dalam bawah sadarnya.
Chief Human Resources Officer FWD Insurance Indonesia, Rudy Manik menambahkan, tantangannya adalah, kadang laki-laki terperangkap dalam situasi di mana mereka mesti memenuhi tuntutan yang harus dicapai sehingga menimbulkan perilaku toxic masculinity. Oleh karenanya, untuk mengubah budaya organisasi supaya lebih setara, harus datang komitmen dari pimpinan perusahaan.
Baca Juga: 3 Hal Ini Boleh Dilakukan Pria Tanpa Menghilangkan Sisi Maskulinitasnya
"Kita tentukan dahulu perilaku apa yang harus ditampilkan, baik pada saat berinteraksi, berkompetisi, dan penyampaian target kinerja, dan itu semua dimulai dari atas," kata dia,
Sementara itu, Plt Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan menuturkan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi, terutama untuk menghilangkan batasan-batasan norma sosial budaya yang bisa menghambat perempuan.
"Kita juga perlu banyak belajar dan berproses untuk memahami isu-isu gender serta kebutuhan perempuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang setara," ujar dia.
Survei Toxic Masculinity
IBCWE meluncurkan hasil survei mengenai Toxic Masculinity yang dilakukan pada Februari 2022 guna memotret peran maskulinitas salah kaprah dalam dinamika kesetaraan gender di tempat kerja.
Baca Juga: 5 Langkah Awal Memulai Karier sebagai Desainer Grafis, Mulailah dari Freelance!
"Survey ini memetakan 10 toxic masculinity yang ada di dunia kerja di Indonesia dan kebanyakan responden setuju dengan adanya maskulinitas salah kaprah ini. Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki standar yang sulit dicapai oleh laki-laki. Standar yang tidak dapat dicapai inilah yang bisa mendorong perilaku atau atau budaya kerja yang negatif. Seperti misalnya budaya kerja saling sikut, mendahulukan pekerjaan atau tidak pernah mengakui kesalahannya," ungkap Maya Juwita.
Hasilnya, sebanyak 91 persen responden tidak setuju apabila laki-laki tidak memerlukan teman curhat, lalu diikuti oleh 88 persen yang tidak setuju kalau laki-laki tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, laki-laki harus lebih dominan dari perempuan dalam segala hal sebanyak 80%, serta laki-laki tidak perlu mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sebanyak 95% responden yang tidak setuju. Hal ini menampik anggapan sosial bahwa tugas domestik hanya dilakukan oleh perempuan.
Selain itu, pernyataan setuju oleh responden tercatat ada 81 persen pada pernyataan secara fisik dan mental laki-laki harus kuat, kemudian laki-laki lebih pantas untuk melakukan pekerjaan berat atau fisik sebanyak 62%, dan laki-laki dinilai harus selalu bisa mengambil keputusan dalam pekerjaannya diamini 71% responden.
IBCWE melakukan survei cepat ini pada 896 orang selama bulan Februari 2022. Responden tersebut terbagi atas 532 perempuan (59,4%), 362 laki-laki (40.4%), dan 2 orang yang tidak menyebutkan jenis kelaminnya (0,2%). Sebagian besar responden berusia 25-34 tahun, yaitu sebanyak 311 orang.
Dari total 535 responden yang mengaku menikah, sebanyak 237 di antaranya adalah laki-laki (65%), sebanyak 297 adalah perempuan (56%), dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya. Dari sisi pendidikan, sebagian besar responden yang berjumlah 498 orang merupakan sarjana, di mana 210 orang (58%) di antaranya laki-laki, dan 288 responden (54%) merupakan perempuan.
Responden yang mengaku bekerja sebagai karyawan swasta mencapai 491 orang di mana 206 orang (57%) merupakan laki-laki, 284 orang (53%) adalah perempuan, dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya.
Lelaki Turut Serta
Agar keberagaman dan inklusi di tempat kerja tercapai, keterlibatan dan dukungan dari semua gender sangat penting, termasuk laki-laki. Penelitian global dari Boston Consulting Group menunjukkan, saat laki-laki terlibat langsung dalam keberagaman gender, baik laki-laki maupun perempuan percaya bahwa perusahaan mereka dapat membuat kemajuan yang jauh lebih besar dalam mencapai kesetaraan gender.
Data menunjukkan bahwa perusahaan di mana laki-laki secara aktif terlibat dalam program inklusi gender, 96 persen melaporkan kemajuan—dibandingkan dengan 30 persen perusahaan di mana laki-laki tak terlibat. Namun, perusahaan cenderung cuma fokus pada perubahan perempuan daripada memecahkan struktural sistemik yang menyebabkan hak istimewa laki-laki dan menegakkan perilaku laki-laki.
Maka dari itu, IBCWE dan didukung oleh Kemen PPPA meluncurkan Kampanye Lelaki Turut Serta yang diikuti oleh perwakilan laki-laki dari Perusahaan anggota IBCWE. Kampanye ini berfokus pada empat hal utama untuk menunjukkan keterlibatannya dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yakni komitmen, pengembangan kompetensi terkait kesetaraan gender di tempat kerja, jejaring, dan advokasi.