Transisi Menuju Society 5.0, Metode Pendidikan Tuntut Mahasiswa Berada pada Level Mencipta

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 13 Desember 2021 | 16:23 WIB
Transisi Menuju Society 5.0, Metode Pendidikan Tuntut Mahasiswa Berada pada Level Mencipta
Taksonomi Bloom (tingkatan jenjang keterampilan siswa). (Dok. Turnitin)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perubahan karakter masyarakat mempengaruhi sistem pendidikan, termasuk bagaimana individu belajar suatu hal untuk menghadapi masalah dalam hidup. Di era Society 1.0 misalnya, metode pendidikan lebih menekankan pada unsur kemandirian, bukan lembaga atau institusi resmi. Masyarakat saat itu mengumpulkan makanan dan berpindah-pindah tempat (nomaden) sehingga mereka belajar sendiri tentang bagaimana cara menggunakan panah, berburu, pakai tombak, dan sebagainya.

“Barulah pada era 2.0, masyarakat mulai belajar tentang berternak dan budidaya menggantikan berburu. Di sini mulai dikenal konsep anak dididik untuk hormat dan patuh pada orang tua, termasuk juga baca tulis meskipun bukan sebuah keharusan. Pada masa ini, sudah mulai muncul istilah karyawan dan pemberi pekerjaan,” tutur Indra Charismiadji, Executive Director Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) saat webinar Utilisasi Teknologi Sebagai Pendukung Karya Tulis, Feedback dan Penilaian yang diselenggarakan oleh perusahaan teknologi integritas akademik Turnitin, Sabtu (11/12).

Selanjutnya, menurut Indra, era 3.0 yang merupakan era manufaktur menuntut kemampuan membaca, menulis, dan berhitung karena masyarakat sudah mulai bekerja di pabrik-pabrik seiring dengan masuknya era industri.

“Saat ini kita masuk Society 4.0 yaitu era informasi. Kalau era sebelumnya, orang yang punya formula untuk menciptakan produk tertentu akan menguasai (industri). Pada masa tersebut, kerahasiaan merupakan hal yang sangat penting. Sedangkan saat ini, informasi begitu terbukanya sehingga kita bisa mengakses dengan mudah,” kata Indra.

Baca Juga: Cara Belajar Baru Pendukung Pendidikan di Masa Pandemi

Dan nanti di era berikutnya, tutur Indra, masyarakat akan bersinggungan dengan teknologi sehingga akan banyak pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga manusia.

McKinsey Global Institute memprediksikan bahwa 2030 ada sekitar 400-800 juta manusia yang pekerjaannya akan digantikan oleh mesin atau robot. Banyak pula pekerjaan administrasi yang tergantikan dengan perangkat telepon pintar.

“Kalau kita lihat transisi dari era 1.0 ke 5.0, semakin lama kebutuhan fisiknya semakin berkurang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kecerdasan atau kemampuan berpikir. Dalam revisi Taksonomi Bloom (tingkatan jenjang keterampilan siswa), dulu kita dituntut untuk menghapal, memahami, dan mengaplikasi informasi dalam situasi yang dikenal. Maka sekarang kita dituntut berada pada level mencipta, yaitu mengeluarkan ide, produk baru dan cara pandang baru. Karya tulis adalah salah satunya,” kata Indra lagi.

Teknologi, tambahnya, punya peran penting dalam mendeteksi apakah karya yang dibuat oleh mahasiswa, dosen atau masyarakat umum adalah benar-benar karya mereka sendiri atau karya orang lain.

Tujuannya bukan untuk menghakimi, tapi kita harus menyiapkan mereka untuk bisa berada pada tingkat keterampilan menciptakan sesuatu.

Baca Juga: Peran Parlemen dalam Diplomasi Soft Power Lewat Pendidikan

Muhammad David Lung. Professional and Educational Services Consultant Turnitin. (Dok. Turnitin)
Muhammad David Lung. Professional and Educational Services Consultant Turnitin. (Dok. Turnitin)

Senada dengan itu, menurut Professional and Educational Services Consultant Turnitin, Muhammad David Lung, teknologi hadir untuk membuat tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan saat ini bisa dikelola dengan baik. Satu kata kuncinya adalah integritas.

“Integritas tidak bisa diberikan nilai karena berhubungan dengan banyak hal seperti moral, pemahaman agama, karakter didikan keluarga dan sebagianya. Integritas harus diberikan dengan cara yang berbeda,” ungkapnya.

Dalam sesi tersebut, David memaparkan beberapa data tentang integritas akademik, antara lain seperempat esai mahasiswa Indonesia terindikasi plagiat dan kasus plagiarisme tingkat SD hingga SMA mencapai 94 persen.

“Dari riset yang pernah dilakukan, 55 persen siswa sekolah menengah mengaku pernah melakukan plagiarisme, sementara 64 persen mahasiswa juga mengakuinya. Kemudian ada 50 persen pelajar menggunakan sumber validitas akademik yang lemah dan 16 persen kesamaan konten berasal dari situs penjual makalah dan situs aplikasi kecurangan,” ungkapnya.

Saat ini beberapa kampus pun lebih fokus membangun infrastruktur teknologi untuk bersiap menghadapi Smart Society yang mengarah pada digitalisasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI