Suara.com - Ekonomi kreatif kian santer didengungkan, meski ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sebuah industri. Ekonomi kreatif mencakup kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan yang menjadi dasar industri kreatif, yang meliputi periklanan, arsitektur, seni dan kerajinan, desain, fashion, film, video, fotografi, musik, seni pertunjukan, penerbitan, penelitian dan pengembangan, perangkat lunak, permainan komputer, penerbitan elektronik, dan TV/radio.
Ekonomi kreatif sebenarnya tidak berbeda dengan proses produksi lainnya, kecuali bahwa input utamanya berasal dari bentuk kekayaan intelektual atau produk yang dapat dilindungi oleh hak cipta. Orang-orang membuat konsep dan menyusun karya, kemudian memproduksi atau menerbitkannya, dan mereka dibayar untuk itu.
Misalnya, melihat siaran online atau membeli berita dari laman berita dotcom, berlangganan layanan streaming hiburan atau pergi ke bioskop, membeli makanan, pakaian atau furnitur secara online, membaca buku atau mendengarkan musik streaming dalam perjalanan ke kantor.
Melihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggarap data ekonomi kreatif dan pariwisata sejak awal 2019, tercatat kontribusi subsektor ekonomi kreatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai Rp 1.211 triliun. Tetapi, ini didominasi oleh usaha kuliner, fashion, dan kriya. Jumlahnya mencapai sekitar 8,2 juta usaha kreatif.
Baca Juga: Bidang Ekonomi Kreatif Tumbuhkan Potensi Daerah di Bumi Mulawarman
Kepala BPS, Suhariyanto, menyebut bahwa PDB sebaiknya memang ditumbuhkan oleh ekonomi kreatif dan pariwisata. Karena kedua industri itu bukan berasal dari sumber daya alam, tapi inovasi yang tidak akan habis.
”Saat ini pertumbuhannya yang besar ada pada fashion, kriya, dan kuliner. Tetapi ada subsektor yang share-nya ke PDB kecil, tetapi pertumbuhannya besar dan banyak diminati milenial seperti game, dan seni pertunjukan, termasuk musik, film, video dan fotografi,” kata Suhariyanto.
Kita bisa bandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat, di mana nilai produksi ekonomi kreatif pada sisi seni pertunjukan dan budaya online-offline pada tahun 2019 mencapai US$ 919,7
miliar, atau sebesar 4,3% dari PDB negara itu. Di negeri paman Sam itu, seni pertunjukan berkontribusi lebih besar dibandingkan industri konstruksi, transportasi dan pergudangan, perjalanan
dan pariwisata, pertambangan, utilitas, dan pertanian.
Melihat perbedaan data Amerika Serikat dan Indonesia ini, FAB berkomitmen untuk berperan aktif dalam memajukan industri kreatif dengan menciptakan sebuah ekosistem bisnis industri kreatif di Indonesia, melalui platform bisnis kreatif.
Platform usaha kreatif FAB merupakan terobosan pertama di Indonesia dalam industri kreatif, guna memperbesar pada sisi yang share nya masih kecil. Termasuk dalam bidang game, seni pertunjukan musik, video, film dan iklan di dalamnya, sekaligus mencetak talent kreatif yang mumpuni, membangun dan mengembangkan berbagai usaha kreatif. Melalui FAB, individu maupun korporasi dapat saling berkolaborasi dan berkembang dalam sebuah ekosistem yang inklusif.
Baca Juga: Rentan Jadi Korban Kerusakan Lingkungan Hidup, Anak Muda Perlu Diajak Peduli Mangrove
Anak Muda Kunci Masa Kini
Dalam ajang kegiatan festival kreatif terbesar, Ideafest 2021, yang berlangsung sepanjang 18-28 November 2021 secara virtual, Founder sekaligus CEO Fantastis Anak Bangsa (FAB), Fritz B. Tobing, berbagi cerita bahwa platform bisnis kreatif yang dibangunnya adalah untuk menciptakan ekosistem industri kreatif di Indonesia.
“Dengan FAB platform bisnis kreatif, para pengusaha kreatif anak bangsa yang terkoneksi di dalamnya bisa memperoleh dukungan teknologi, pendampingan, pendanaan, sumber daya, hingga jaringan bisnis. Dengan demikian, akan semakin cepat terbentuk ekosistem bisnis kreatif yang besar dan solid. Tentunya dengan terbentuknya ekosistem yang seperti itu, otomatis dapat mendorong roda perekonomian bangsa,” papar Fritz, pada sesi talkshow ‘IdeaFest’ bertajuk ‘The Young is Not The Future’, Sabtu (27/11), secara virtual.
Merujuk pada data terbaru BPS, saat ini, Indonesia masih berada dalam era bonus demografi, yakni dengan jumlah usia produktif yang didominasi Gen Z 27,94% (kelahiran 1997-2012) dan Millennial 25,87% (kelahiran 1981-1996).
“Untuk itu, FAB menawarkan solusi berupa platform yang layak bagi kaum muda untuk menumbuhkan aspirasi mereka, termasuk merealisasikan mimpi mereka,” lanjutnya.
Terkait “The Young is Not The Future” pada sesi talkshow “IdeaFest”, ditegaskan Fritz, anak muda bukan lagi sebagai kunci dan penentu masa depan.
“Peran mereka itu bukan nanti, tapi sekarang, terutama dalam mendukung kemajuan ekonomi bangsa. Anak muda itu kunci masa kini,” ucapnya.
Perbedaan generasi muda sekarang dibandingkan dengan generasi muda sebelumnya, menurutnya, adalah generasi muda sekarang penuh dengan kemudahan dalam memilih. Termasuk, banyak pilihan edukasi dan profesi.
“Mereka diuntungkan dengan banyaknya pilihan dan kesempatan. Tapi pada saat yang bersamaan, mereka diberikan tanggung jawab besar bahwa mereka tidak hanya berperan untuk nanti, tapi saat ini. Oleh karena itu, anak muda perlu didorong ke arah yang benar. Anak muda juga harus punya inistiatif yang tinggi untuk mulai menjadi entrepreneur,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, salah satu Pembina Y sekaligus Co-Founder dan Business Director AmbilHati, Sandru Emil, menambahkan, “Anak muda sekarang berani mengambil risiko atau risk tollerance. Mereka juga optimsitik. Buktinya, banyak startup dan unicorn yang berhasil dipimpin oleh anak muda."
Hanya saja, menurut Sandru, masalah terbesar young entrepeneur di Indonesia adalah, mereka tidak tahu bagaimana mengelola bisnis, sementara mereka hanya punya modal ide besar dan semangat. Padahal, ide besar tidak akan menjadi ide besar jika tidak dijalani.
“Entrepreneur itu end-to-end, semuanya harus dilakukan,” ujarnya.
Untuk itu, Y program hadir sebagai solusi untuk membantu menjawab masalah tersebut. Y atau Young Creative Entrepreneur Program merupakan program solusi yang tersedia dalam platform FAB untuk Gen-Z dan millennial, yang ingin menjadi young creativepreneur.
“Y diperuntukkan bagi talent kreatif muda yang akan memulai usaha baru, ataupun usaha kreatif yang sudah berjalan, dengan cakupan usia 18 - 30 tahun. Melalui platform Y, mereka akan kami persiapkan sebagai pengusaha muda terbaik di bidang kreatif,” ujar Sandru.
“Anak muda harus dapat merealisasikan mimpinya sekarang, bukan nanti. Untuk itu, kami mengajak seluruh talent kreatif muda Indonesia untuk bergabung bersama Y, agar mimpi itu dapat terealisasi saat ini,” kata Sandru lebih lanjut.
Lebih jauh ia menerangkan, Y juga akan memberikan dukungan berupa mentorship atau pendampingan, pengetahuan dalam membangun usaha, dan jaringan usaha yang berada di dalam ekosistem FAB. Y Program membangun initimate mentorship, dengan memberikan sharing pengalaman.
“Kami memberikan fundamental dari sisi finansial serta bagaimana mengelola dan menumbuhkan bisnis mereka,” imbuh Sandru, yang menyebut bahwa sejak diluncurkan akhir Oktober 2021 lalu, di dalam platform Y sudah bergabung Katch, Basement, BSKSBT, dan Mooilux.
Katch, Salah Satu Contoh Mimpi Sukses Anak Muda Membangun Usaha Kreatif
Menurut Sandru, Katch merupakan salah satu contoh mimpi sukses anak muda yang berhasil membangun usaha kreatifnya melalui platform Y. Katch bergabung di dalam platform Y, dengan mempunyai keunikan tersendiri, yakni woman driven creative agency.
Katch baru berdiri pada tanggal 28 Oktober 2021. Namun, dua dari tiga orang founder-nya, di antaranya Nabyl dan Novelia, memiliki pengalaman di industri kreatif lebih dari 10 tahun di mutinasional agency, serta sudah banyak meraih berbagai penghargaan kreatif.
“Di awal bergabung, kami mendapatkan mentorship dan pendampingan, bahwa kami harus mempunyai keunikan ketika membangun agency. Jadi, tujuannya jelas, target kemana, siapa dan sebagainya,” kata Nabyl Farizi, Co-Founder & Creative Director Katch, dalam acara Ideatalks 2021 yang dipandu oleh Adelle Odelia Tanuri, Co-Founder Rahasia Gadis dan Sparks Indonesia.
Nabyl melanjutkan, “Menurut insight yang kami peroleh, perempuan mempunyai peran yang besar terhadap produk atau brand yang akan dipilih, termasuk keputusan pembelian untuk konsumsi keluarga di rumah. Misalnya, suami akan membeli mobil, atau gadget, pasti mempertimbangkan pendapat istri. Insight itulah yang kemudian menjadi keunikan didalam agency kami.”
Menurut Nabyl, hanya dalam kurun waktu dua bulan, Katch sudah menangani brand-brand milik Orangtua Group, Enfagrow, dan BurgerKing, tentunya menjadi hal mustahil kalau mereka tidak bergabung didalam platform Y dengan kekuatan jaringan bisnis seperti FAB.
Lebih jauh Nabyl menegaskan, ia menyukai konsep Y, karena ia dan tim dibina dan dan didampingi benar-benar oleh “kakak-kakak pembina”. Contohnya, ia diajari berkenalan dengan klien, dibantu dicarikan jalan keluar ketika menghadapi masalah saat menangani klien.
“Di Y, kami bisa bertanya kepada para kakak pembina. Hal lainnya, kami juga dibantu, karena Y mengedepankan kolaborasi. Ini penting, untuk kami yang masih dalam tahap belajar,” pungkasnya.