Picu Global Warming, Kemasan Plastik Sekali Pakai Tak Sesuai Kesepakatan KTT COP26

Rabu, 17 November 2021 | 16:53 WIB
Picu Global Warming, Kemasan Plastik Sekali Pakai Tak Sesuai Kesepakatan KTT COP26
Ilustrasi pemanasan global (Shutterstock).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim COP26 yang digelar sejak 31 Oktober - 13 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, menghasilkan beberapa kesepakatan.

Dalam diskusi di Paviliun Indonesia untuk COP-26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan bahwa tanggung jawab pengurangan sampah tidak hanya ada di tangan pengguna produk tapi juga produsen.

"Tujuan utama peta jalan pengurangan sampah di Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 adalah mengurangi jumlah sampah yang berasal dari produk, kemasan produk, wadah dan juga membangun bisnis berkelanjutan terkait penerapan sirkular ekonomi, dan mengubah perilaku konsumen," katanya.

Selain itu, kata Vivien, dalam peta jalan tersebut juga berisi usaha penarikan kembali kemasan oleh produsen untuk mengurangi sampah dan mendorong daur ulang.

Baca Juga: Kurangi Plastik, KLHK dan Produsen Komitmen Kelola Sampah dan Manfaatkan Daur Ulang

Sayangnya, anjuran pemerintah itu sepertinya tidak dihiraukan oleh produsen tertentu yang justru mengeluarkan produk-produk baru plastik sekali pakai, dengan ukuran yang lebih besar atau bentuk galon.

Kesepakatan lain, peserta berkomitmen meningkatkan target iklim resmi pada tahun depan. Negara-negara juga sepakat untuk mengikuti hasil laporan PBB pada 2018 agar menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius, ketimbang mengikuti Perjanjian Paris yang cenderung lemah, yakni hanya 2 derajat Celcius.

Penduduk dunia dan seluruh pemangku kepentingan diharapkan untuk menerapkan pola pikir dan perilaku yang ramah iklim, termasuk menghindari produksi dan konsumsi produk dengan kemasan yang tidak ramah lingkungan.

"Saatnya masuk ke mode darurat. Kita harus mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, mengakhiri penggunaan batu bara, menetapkan harga pada karbon, melindungi masyarakat rentan dari dampak perubahan iklim," ujar Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Antonio Guterres, yang juga hadir dalam acara tersebut.

Sekjen juga menyerukan para peserta COP26 untuk mengimplementasikan komitmen pendanaan hingga USD100 miliar dalam mendukung negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim. Menurutnya, prioritas absolut ke depan adalah membatasi emisi gas rumah kaca, menurunkannya hingga 45 persen dalam 10 tahun ke depan (dibanding level 2010).

Baca Juga: Lebih dari 28 Ribu Ton Sampah Medis Tersebar di Lautan, Kebanyakan dari Plastik!

KTT COP26 ini digelar untuk membantu mencapai komitmen-komitmen krusial demi memenuhi target yang tetap disepakati dalam Perjanjian Iklim Paris 2015 di bidang pengurangan emisi gas rumah kaca, netralitas karbon, pemanasan global, dan perubahan iklim.

Dalam Perjanjian Iklim Glasgow, sekitar 200 negara juga sepakat untuk mengurangi penggunaan batu bara, mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, dan berkomitmen mencapai target pengurangan emisi.

Sampah plastik adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim. Karena, sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.

Plastik terbuat dari minyak bumi dengan proses mengubah komponen minyak bumi menjadi molekul kecil yang disebut monomer. Kegiatan memproduksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel bahan baku minyak. Untuk mengubah minyak bumi menjadi monomer digunakan cara pembakaran. Dari metode inilah banyak gas rumah kaca diemisi ke atmosfer.

Sedangkan pada tahap pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sampah plastik adalah salah satu jenis sampah penghasil gas rumah kaca. Begitu juga pada tahap pengelolaan, karena plastik tidak dapat diurai secara alami oleh bakteri dalam tanah, sehingga membutuhkan ratusan tahun sampai plastik dapat terurai dengan sendirinya. Biasanya plastik dikelola dengan cara dibakar. Padahal pengelolaan plastik dengan cara dibakar menambah emisi gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Dalam pidatonya pada KTT COP26, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim di dunia.

"Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerjasama, kolaborasi global, merupakan kunci. Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim,” ujar Joko Widodo.

Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Life Cycle Indonesia (LCI) penggunaan galon sekali pakai memiliki dampak 6 kali lebih besar dalam pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) bila dibandingkan dengan galon guna ulang. Selain itu, galon sekali pakai juga memiliki dampak 17 kali lebih besar dalam penggunaan air (Water Scarcity Footprint).

“Dari studi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan produk sekali pakai menimbulkan dampak yang cukup besar kepada lingkungan dan perubahan iklim,” tukas Founder sekaligus Direktur Eksekutif Life Cycle Indonesia, Jessica Hanafi.

Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, juga menyampaikan, kehadiran produk galon sekali pakai itu bertolak belakang dengan semangat pengurangan sampah yang sebenarnya menjadi target Indonesia untuk bisa mengurangi 70% sampah di laut hingga tahun 2025 mendatang. Dia sangat menyayangkan perilaku produsen tersebut.

Seharusnya yang dilakukan industri adalah sudah harus membuat perencanaan bagaimana mengurangi sampah mereka dalam 10 tahun sampai dengan dengan 30% seperti yang diminta dalam Peraturan Menteri LHK No.75 Tahun 2019.

“Bukan malah mengeluarkan produk-produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah baru,” tukas Atha.

REKOMENDASI

TERKINI