Suara.com - Hingga hari kedua puluh empat penyelenggaraan, Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 tak habis-habisnya menyuguhkan berbagai program menarik. Berbagai program itu menjadi bagian aktivasi pameran utama bertema Roots < > Routes, yang digelar di Jogja National Museum (JNM) dan bekerja sama dengan seniman maupun kolektif partisipan, diantaranya Broken Pitch & Juanga Culture.
Sepanjang Sabtu (30/10/2021), JNM seolah menjadi milik mereka untuk berekspresi. Dua kolektif itu membuat agenda yang menghentak panggung JNM, yang dikemas dalam kegiatan Boki Emiria Show International Performance, yaitu lecture performance, fashion show yang mengaktivasi ruang pameran dan pertunjukan budaya di panggung JNM.
Judul kegiatan ini terinspirasi dari sosok Boki (permaisuri) Emiria Soenassa, salah satu perupa perempuan pertama di Indonesia, yang merupakan anak keturunan dari Kesultanan Tidore. Emiria belajar melukis secara otodidak, sebagaimana kebanyakan seniman pada masanya. Ia pernah belajar dan bergaul dengan seniman lainnya di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Pada masa penjajahan Jepang, Emiria merupakan anggota dari Poesat Keboedajaan (Keimin Bunko Shidoso).
Sebagai pembuka, Direktur Biennale Jogja XVI, Gintani Nur Apresia Swastika diundang ke atas panggung dan terlibat dalam pertunjukan pembuka. Salah satu seremoninya, Gintani menerima buah pinang dan mengunyahnya hingga habis.
Usulkan Hari Batik Diganti Hari Kain Tradisional
Enam orang dengan balutan tenun Tidore yang coraknya begitu khas, berjalan bak peragawan dan peragawati dari pintu masuk galeri lantai 1 Jogja National Museum (JNM). Citra etnik dan modern diramu menjadi style yang unik dan apik sekaligus.
Fashion show Funkie Raha ini menjadi bagian dari gelaran bertajuk Boki Emiria Show International Performance yang diselenggarakan bersama dengan Broken Pitch dan Juanga Culture mulai pukul 10.00 WIB.
Enam talent fashion show ini, tiga perempuan dan tiga laki-laki adalah audiens lecture performance tenun Tidore, yang sebelumnya diadakan di sisi barat panggung utama JNM dengan Bams Conoras yang memiliki nama panggung Presiden Tidore sebagai pemateri.
Ladija Triana, manajer program Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, mengungkapkan, fashion show ini mengenalkan kain Nusantara pada pengunjung pameran.
"Kami berusaha mengenalkan kain tradisional Nusantara dan menunjukkan pada masyarakat bahwa kain itu (Nusantara) tidak hanya dapat dikenakan untuk acara-acara tertentu (formal), tetapi juga bisa dipakai di acara-acara yang santai. Misalnya, bermain bersama teman dan menonton pameran," kata Ladija.
Pengenalan kain Nusantara dengan fashion show ini, bukan tanpa alasan.
Ladija menerangkan, "Broken Pitch itu adalah kolektif yang fokus pada seni pertunjukan. Dari situ, dengan membuat fashion show kain Nusantara mereka dapat menanggapi persoalan yang menjadi perhatian Juanga Culture, yaitu Hari Batik."
Hari Batik, menurut rumah budaya Moloku Kie Raha (Maluku Utara) ini, tidak dapat merepresentasikan seluruh Indonesia. Banyak wastra dan kerajinan kain di penjuru lain di Indonesia yang kemudian dipinggirkan. Usulan mereka, Hari Batik diubah menjadi Hari Kain Tradisional Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan, fashion show ini sifatnya adalah produksi konten video untuk media sosial. Artinya, memang digelar tidak untuk secara sengaja mengundang penonton di dalam ruang galeri. Mengapa demikian?
"Sebenarnya, (fashion show) ini cair saja. Kami ingin memposisikan talent fashion show sebagai pengunjung biasa, tetapi mengenakan kain tradisional Nusantara untuk pergi ke mana-mana," tutup Ladija.
Solidaritas Seni Boki Emiria Show
“Saya laki-laki yang tidak akan kalah dikeroyok di tengah padang yang luas,” pekik laki-laki bertelanjang dada dengan sarung merah bergaris hitam di panggung utama Jogja National Museum (JNM) dalam perhelatan Biennale Jogja XVI #6 Indonesia with Oceania.
Setelah dibuat gegap-gempita bersama musik hip-hop Itsmenach X Presiden Tidore, kini penonton tampak terpukau khusuk oleh pementasan Ikami Sulsel D.I.Y feat Kelompok 0 & 9.
Acara dimulai sejak pukul 14.00 WIB dengan menghadirkan enam kelompok performance, yakni Baswara, Bumi Risalah, IKMPHT Yogyakarta, IKAMI Sulsel feat 0&9, NTP, Milisi Yangere HIPMMU Bandung, dan Sanggar Lawamena IKMPMA D.I.Y.
Seusai tarian daerah Sulawesi Selatan yang dipersembahkan IKAMI Sulsel. Dua orang laki-laki mengenakan baju adat Makassar memperagakan adegan debus dengan menggoreskan mata badik ke bagian-bagian tubuhnya.
“… Demi rajaku yang kuhormati, demi penguasa tunggal tanah Bone. Maka semangatku telah menyeberang ke akhirat…” begitulah Ipang Sugali, salah satu penampil dari 0 & 9 membawakan janji Angngaru.
“Angngaru itu artinya sumpah prajurit kepada daerahnya, kepada rajanya,” ujar Ipang, salah satu panitia.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa sumpah itu juga menunjukkan laki-laki Bugis-Makassar harus berpegang teguh pada kata-katanya.
Di bagian penghujung pementasan, performance ditutup dengan tarung sarung Bugis, Sitobo Lalang Lipa, atau Sigajang Lalang Lipa. Pertarungan itu dilakukan oleh dua orang yang saling menikam di dalam sarung, sampai salah seorang di antaranya menemui ajal.
“Sitobo Lalang Lipa itu cara untuk menyelesaikan masalah di antara dua pria yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah,” kata Ipang menjelaskan tarung sarung dari kacamata budaya daerahnya.
Selain seluruh penampil, kebanyakan penonton juga berasal dari ikatan mahasiswa atau masyarakat Timur yang berada di Yogyakarta. Bukan cuma pesta atau pertunjukan kebudayaan, pentas ini merupakan wujud solidaritas dan persaudaraan di panggung seni.