Suara.com - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo menegaskan, penggunaan kemasan pangan berbahan Bisphenol A (BPA), termasuk galon guna ulang, masih cukup aman. Ia merujuk pada hasil kesimpulan focus group discussion (FGD) yang dilakukan Kemenperin bersama ahli kimia dari ITB, ahli kemasan dari IPB, dokter spesialis anak, dokter spesialis endokrin pada 21 September 2021.
“Saya sampaikan kepada BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), berdasarkan hasil FGD yang kami lakukan bersama para pakar dan dokter ahli, dinyatakan bahwa penggunaan BPA masih cukup aman. Kalau dilihat standar migrasi di negara-negara lain juga masih banyak yang sama, bahkan di atas Indonesia seperti Jepang 2,5 bpj, Korsel 0,6 bpj, dan China 0,6 bpj,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, BPOM mengeluarkan rilis adanya migrasi BPA dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu 0,6 bpj.
Pada kesempatan itu, Edy juga menyoroti soal kemungkinan pertemuan tertutup yang dilakukan BPOM dengan sejumlah pihak untuk mewacanakan pelabelan dengan mencantumkan keterangan lolos batas uji BPA di kemasan pangan plastik yang mengandung BPA. Edy menegaskan, Kemenperin akan selalu menjaga agar iklim usaha tetap kondusif bagi perkembangan industri.
Baca Juga: PBB: Lebih dari 5 Miliar Orang Kekurangan Air Pada 2050
“Tentunya kami akan selalu menjaga agar iklim usaha tetap kondusif bagi perkembangan industri,” ujarnya.
Tentang wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan yang diwacanakan BPOM itu, Edy mengutarakan, sebaiknya BPOM mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan.
Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” ujarnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
Baca Juga: Jaga Penurunan Muka Tanah, Wagub DKI Minta Warga Hemat Air
“Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang eksisting, yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengandampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?” ucapnya lagi.
Menurut Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat.
“Setiap kebijakan harus ada Risk Impact Analysis (RIA) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.