Suara.com - PP Nomor 56 tahun 2021 tentang royalti hak cipta lagu sempat menjadi heboh beberapa waktu lalu. Di satu sisi, PP ini membawa angin segar bagi para musisi atau pencipta lagu. Tapi di sisi lain, PP ini juga seakan menjadi masalah pagi para pihak yang menikmati atau memanfaatkan sebuah karya musik.
Dalam PP 56 tahun 2021 diatur bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ditunjuk sebagai pihak untuk menghimpun royalti.
Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD) kemudian membedah keberadaan LMKN, baik dari sisi kedudukan, kewenangan dan pertanggungjawaban keuangannya dalam sebuah webinar yang digelar baru-baru ini.
Menariknya webinar ini hanya mengundang para pakar hukum tanpa kehadiran musisi. Webinar ini mencoba mengupas permasalahan dalam konteks keilmuan murni dan steril dari kepentingan-kepentingan bisnis yang mungkin ada dalam industri musik.
Para pakar hukum yang dihadirkan dalam webinar bertajuk "Menyoal Lembaga Manajemen Kolektif" ini di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Dr. Agus Sardjono (Profesor di Bidang Hak Kekayaan Intelektual), Sony Maulana Sikumbang, (Ahli Perundang-Undangan dan Dosen FH Universitas Indonesia), Andi Sandi (Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Gajah Mada), dan Dr Dian Puji N. Simatupang (Ahli Keuangan Publik FH UI dan Anggota Komite Audit Kementerian Keuangan).
Prof Dr. Agus Sardjono menjabarkan, LMKN pada dasarnya merupakan lembaga yang dibuat untuk mewakili pecipta dan pembuat lagu dalam menegakkan hak-haknya. Agus kemudian menjabarkan sisi historis sebelum LMKN ada.
Sebelum LMKN sebenarnya sudah ada lembaga kolektif seperti KCI (Karya Cipta Indonesia), PAMMI (Persatuan Musik Melayu Dangdut Indonesia), yang berusaha memperbaiki mekanisme penarikan royalti.
"Akar masalahnya ketika pengguna (pembayar royalti) didatangi beberapa orang atau lembaga yang menarik royalti. Maka itu, ada ide federasi berbadan hukum yang terdiri dari LMK-LMK," jelas Prof. Dr. Agus Sardjono.
Dari masalah itu akhirnya disepakati agar menggunakan sistem satu pintu dalam proses pemungutan royalti. Usulan itu kemudian dimuat dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan terbentuknya Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan huruf N kecil). LMKn terdiri dari sejumlah LMK-LMK yang ada di Indonesia.
Baca Juga: Dolly Parton Investasikan Royalti Lagu Whitney Houston untuk Komunitas Kulit Hitam
"Jadi ada LMK, ada LMKN yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil di UU Hak Cipta ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK. Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UU Hak Cipta, LMKN adalah LMK juga, bukan sesuatu yang lain," katanya memaparkan.