Stereotip Gender Tak Lagi Jadi Kendala dalam Sains dan Teknologi

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 05 April 2021 | 07:45 WIB
Stereotip Gender Tak Lagi Jadi Kendala dalam Sains dan Teknologi
Perempuan dalam Sains dan Teknologi. (Dok. Sinarmas World Academy)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sains, teknologi, teknik, dan matematika atau yang disingkat STEM, selama ini sangat lekat dengan lelaki. Penelitian dunia menunjukkan bahwa STEM masih didominasi oleh lelaki, dan hanya ada 10 - 28% perempuan di sektor ini.

Menurut UNESCO, hal ini disebabkan terlalu banyak perempuan yang ditahan oleh bias, norma sosial, dan ekspektasi, sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan dan mata pelajaran yang mereka pelajari. Dan untuk mempersempit kesenjangan gender dalam sains dan teknologi ini, kita perlu menghancurkan stereotip yang ada.

Kyra, siswi kelas 11 sekolah Sinarmas World Academy (SWA), yang berhasil memenangkan medali emas dalam ajang kompetisi internasional matematika IB Mathematics Competition TI-Nspire 2020, mengakui meski di era modern ini perempuan telah melangkah maju dan meninggalkan persepsi kuno tentang ketidaksesuaian perempuan di sektor STEM, namun dampak dari stereotip yang dipraktikkan selama berabad-abad masih terasa.

“Saya beruntung berada di lingkungan yang selalu mendukung perempuan berkarya dan berprestasi dalam STEM, tapi tidak semua seberuntung saya. Untuk meningkatkan partisipasi perempuan di STEM, kita harus mengakui bahwa masalah stereotip ini memang ada. Kita juga harus mendorong para anak perempuan untuk lebih tertarik pada STEM, karena dengan begitu akan memberikan mereka pilihan untuk mengejar STEM di masa depan,” katanya melalui rilis yang diterima Suara.com.

Baca Juga: Hebat, 2 Ilmuwan Perempuan Ini Beri Kontribusi Dunia Kedokteran Tanah Air

Callista, siswi kelas 11 yang juga menjadi pemenang medali emas dalam ajang kompetisi internasional matematika IB Mathematics Competition TI-Nspire 2020, mengajak para orangtua untuk mengenalkan matematika kepada anak sejak usia dini.

“Saya terbiasa melihat buku matematika yang penuh dengan simbol, hal ini membuat saya tertarik pada matematika,” akunya.

Bermula dari ketertarikan ini, Callista semakin menyadari bahwa matematika bukan hanya angka, penjumlahan, dan pengurangan dan merupakan konsep yang menarik untuk dijelajahi.

“Pada awalnya, matematika merupakan sebuah bahasa, yang merupakan alat untuk pemahaman dan komunikasi global karena dapat diterapkan di banyak bidang dan dapat dipahami oleh siapa saja bahkan jika ada hambatan komunikasi lain,” katanya mengakui bahwa konsep inilah yang membuat ia tertarik mengeksplorasi matematika lebih dalam lagi.

Elma, salah satu guru matematika perempuan di SWA, mengakui bahwa stereotip berperan penting dalam kesenjangan gender di STEM.

Baca Juga: Kepala LAPAN: Kiamat Bisa Terjadi di Bumi Jika Satelit Terganggu

“Ini bukan tentang anak perempuan yang kurang mampu dalam matematika daripada anak laki-laki. Dalam banyak kasus, anak perempuan tidak memiliki cukup minat untuk terus mencoba. Masyarakat secara tidak sadar mendefinisikan apa yang seharusnya seorang anak perempuan kuasai. Dan untuk mematahkan stereotip ini, masyarakat harus bekerja sama untuk membuka peluang agar anak perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk mengeksplorasi, menemukan diri mereka dan berprestasi dalam definisi mereka sendiri di STEM ini,” ujar Elma.

Menurut laporan UNESCO dalam Cracking the Code: Pendidikan anak perempuan dan perempuan di STEM, sistem pendidikan dan sekolah memainkan peran utama dalam menentukan minat anak perempuan dalam STEM. Guru dan lingkungan belajar secara keseluruhan sangat penting dalam memastikan keterlibatan anak perempuan dengan STEM, dan bahwa guru STEM perempuan memiliki pengaruh positif pada kinerja dan keterlibatan siswi dalam studi dan karir STEM.

Sosok panutan wanita memiliki dampak yang luar biasa pada generasi muda, dan mungkin merupakan salah satu faktor motivasi terbesar, yang memungkinkan mereka untuk memvisualisasikan masa depan mereka di STEM.

Namun begitu, minat saja tidak cukup untuk melawan stereotip. Minat harus bisa dibangun menjadi sebuah semangat dan kecintaan, dan itu semua perlu dipupuk dan dipelihara di lingkungan yang tepat.

Contohnya Alisa, siswi SWA kelas 10, merupakan salah satu dari banyak siswi SWA yang menemukan passion mereka di bidang STEM. Minatnya terhadap STEM dimulai dari bermain Lego, yang lalu dengan dukungan positif dari keluarga dan sekolah, dia dipaparkan pada dunia teknologi, teknik, robotik dan pemrograman. Paparan dan pengalaman positif ini yang akhirnya tumbuh menjadi kecintaan Alisa pada STEM.

Mematahkan stereotip gender dalam STEM merupakan usaha kolektif masyarakat terutama sekolah. Sudah saatnya kita mendidik dan memberdayakan generasi penerus tanpa memandang gender. Bersama memberi kesempatan dan dukungan yang sama untuk menciptakan dunia di mana lebih banyak anak perempuan yang terinspirasi menjadi sosok berpengaruh di dunia STEM.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI