Suara.com - Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI) dan Institut Gizi Indonesia (IGI) menyelenggarakan lokakarya internasional secara virtual pada 20 Maret dan 22 Maret 2021, guna membahas masalah gizi mikro global dan nasional, terkait defisiensi zat gizi mikro, khususnya zat besi, iodium, seng/zinc, vitamin A dan asam Folat, yang secara global dikenal sebagai hidden hunger atau “kelaparan tersembunyi”.
Menurut Global Hunger Index dan WHO, kira-kira 2 miliar orang mengalami kekurangan vitamin dan mineral di dalam makanan mereka, yang antara lain berdampak pada tingginya angka kematian balita karena sebagian
besar terkait dengan kekurangan besi, vitamin A dan seng.
Mereka yang berhasil hidup, sebagian besar mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan intelektual, yang disebut stunting. Anak di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mengalami stunting, sekitar 30% nya disebabkan oleh masalah kekurangan gizi mikro kronis .Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin.
Masyarakat yang paling terkena “kelaparan tersembunyi” ini adalah mereka yang miskin. Mereka lebih jarang mengonsumsi buah dan sayuran, yang kaya akan vitamin dan mineral.
Baca Juga: Asupan Gizi Seimbang Turunkan Risiko Penyakit Tidak Menular Selama Pandemi
Seperti sering ditemukan dari banyak survei sosial dan ekonomi, rumah tangga miskin membelanjakan sebagian besar penghasilannya untuk membeli beras, makanan pokok yang mempunyai densitas energi yang tinggi dan lebih sedikit belanja untuk pangan sumber protein, vitamin, dan mineral dari pangan seperti daging, ikan, buah dan sayur. Makanan mereka mempunyai skor keragaman (variability score) yang rendah.
Seorang pakar pangan di Afrika menyatakan bahwa gizi seimbang yang mempunyai skor keragaman yang tinggi merupakan kemewahahn untuk masyarakat miskin. Itulah mengapa masalah gizi seperti wasting dan stunting prevalensinya tinggi di negara-negara miskin. Para ahli mengatakan bahwa stunting merupakan wajah kemiskinan atau “Stunting is the face of poverty”
Ada dua pendekatan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi mikro dalam situasi dimana konsumsi makanan tidak dapat mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral. Pertama adalah pendekatan berbasis pangan (Food Based Approach) dengan Fortifikasi makanan dan biofortifikasi, dan bantuan pangan atau suplemen.
Kedua adalah pendekatan berbasis non-pangan (Non- Food Based Approach) dengan menggunakan suplementasi pil/kapsul vitamin dan mineral. Lokakarya ini mendiskusikan kedua pendekatan tersebut, tidak hanya dalam kaitannya terhadap penurunan stunting tetapi juga tentang manfaatnya terhadap vaksinasi Covid-19.
Sebanyak 20 pembicara internasional dan nasional yang kepakarannya dalam bidang gizi, pangan dan kesehatan masyarakat sudah sangat dikenal, menyampaikan presentasi dan pendapatnya mengenai kedua pendekatan dalam dua hari lokakarya.
Baca Juga: Sebulan Lagi Puasa Ramadan, Ini Saran Ahli Gizi Agar Nutrisi Terpenuhi
Tema lokakarya adalah “Gizi mikro sebagai Strategi Tandem dalam Pemberian Vaksinasi COVID-19 dan Peningkatan Penurunan Stunting: Peranan Suplementasi Gizi Mikro Multiple dan Fortifikasi Pangan” (“Micronutrient as a Strategic Tandem of Covid-19 Vaccination and Acceleration of Stunting Reduction; the Role of Multi-micronutrient Supplementation and Food Fortification”).
Tujuan lokakarya ini adalah mendukung pembuat kebijakan di pemerintah dan industri tentang pentingnya mewajibkan fortifikasi makanan bagi kesehatan dan kesejahteraan orang miskin, khususnya kehidupan di 1000 hari pertama kehidupan untuk generasi masa depan dan untuk menciptakan generasi Indonesia yang lebih baik.
Keynote speech dari lokakarya internasioal ini disampaikan dan sekaligus dibuka oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Direktur Jendral Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi, Ketua Akademi Ilmu Pengetahun Indoneia Satryo Soemantri Brodjonegoro menyampaikan pidato bahwa ilmu pengetahuan dan inovasi, termasuk ilmu pengetahuan gizi, harus merupakan fondasi formulasi kebijakan yang berdasarkan bukti, bagi pengembangan kualitas manusia sebagai landasan peradaban manusia.
Hari pertama lokakarya pada tanggal 20 Maret 2021 fokus pada antara lain pendekatan berbasis non-pangan, mendiskusikan pedoman WHO Steering Group tahun 2019 tentang pemberian multiple micronutrient supplementation (MMS) yang penting untuk periode 1000 hari pertama kehidupan yang telah/akan dilaksanakan di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Pembicara utama pada Hari Pertama, Sangkot Marzuki, yang merupakan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia pada periode sebelumnya dan yang saat ini menjabat sebagai Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia serta Ketua Dewan Pakar IGI, menjelaskan tentang sejarah vitamin di Indonesia yang luar biasa.
Setelah itu, diikuti presentasi oleh dua professor dari the Johns Hopkins University, yakni Keith P. West, Klaus Kraemer, dan juga dari Oxford University, Anuraj Shangkar, serta Clayton Ajello, dari humanitarian/micronutrient forum dan juga anggota the MMS Task Force.
Para pembicara menjelaskan tentang aspek teknis MMS, termasuk perkembangan kebijakan global yang terkini tentang Perubahan IFA menjadi MMS, juga menyampaikan konsensus tentang pemahaman spesifikasisi UNIMMAP dan produksinya.
Rasional ilmiah dan hasil-hasil uji efikasi dan efektivitas MMS, menunjukkan keunggulan MMS terhadap Tablet Tambah Darah (TTD). Selain itu juga disampaikan tentang aspek dan pengalaman dari banyak negara tentang peralihan dari TTD menjadi MMS yang disampaikan secara komprehensif.
Hari kedua lebih banyak fokus pada isu masyarakat dalam skala yang lebih besar yaitu “kelaparan tersembunyi” diantara masyarakat miskin di negara brkembang maupun di negara maju dengan pendekatan berbasis pangan, yaitu fortifikasi pangan dan biofortifikasi.
Fortifikasi makanan adalah suatu teknologi untuk memperkaya makanan dengan vitamin dan mineral tertentu untuk mencegah masalah kekurangan gizi mikro.
Bifortifikasi atau Biological Fortification, merupakan teknologi pengayaan kandungan zat gizi yang nilai pemanfaatan biologisnya dalam tubuh lebih tinggi dari fortifikasi biasa dengan cara teknologi biologi, pemulyaan tanaman konvensional, dan teknologi pertanian lainnya.
Lokakarya ini juga menjadi tempat diskusi tentang fortifikasi pangan yang wajib dan biofortikasi sebagai komponen dari program giizi nasional untuk memperbaiki status gizi kelompok miskin seperti yang terutama diindikasikan oleh penurunan stunting.
Teknologi fortifikasi pangan pertama kali dilakukan di pada tahun 1920 di Amerika dan Swiss, dalam bentuk fortifikasi garam dengan iodium untuk masyarakat miskin yang menderita penyakit kekurangan iodium pada anak dan ibu hamil yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik dan keterbelakangan mental, termasuk kretinism dan stunting.
Sejak saat itu, fortifikasi pangan, terutama makanan pokok, merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari secara global.
Di Indonesia, kewajiban fortifikasi pangan dimulai dengan iodisasi garam pada tahun 1927 oleh pemerintah Hindia Belanda dan dengan Keputusan Presiden pada tahun 1994, pemerintah Indonesia mewajibkan fortifikasi garam dengan iodium, kemudian fortifikasi wajib tepung terigu dengan zat besi dan beberapa vitamin dan mineral lainnya pada tahun 2001, serta fortifikasi sukarela minyak goreng sawit dengan vitamin A pada tahun 2010.
Sayangnya, fortifikasi pangan belum menjadi prioritas program gizi di Indonesia. Dunia internasional mempertanyakan peran fortifikasi selama pandemi dan sebagai intervensi gizi spesifik untuk menurunkan stunting.
Dunia telah menyepakati bahwa fortifikasi pangan yang wajib (mandatory) telah terbukti secara global sebagai suatu terobosan dengan upaya yang kecil dalam mencegah defisiensi gizi mikro, terutama untuk masyarakat miskin.
Bank Dunia pada tahun 2006 menyatakan bahwa fortifikasi pangan merupakan intervensi gizi spesifik yang paling cost-effective dalam mengatasi masalah gizi mikro.
Sementara hari Kedua, pembicara diantaranya adalah tiga Penerima Penghargaan Pangan Dunia (World Food Prize Laureate), yakni David Nabarro, Utusan Khusus WHO Director General on Covid-19, dan Advisory Committee Member of the UN Food System Summit yang juga adalah Pemegang World Food Prize Laurate 2018 yang menjelaskan tentang SDGs, Sistem Pangan, juga pentingnya asupan gizi yang baik pada periode 1000 hari pertama kehidupan terutama selama masa pandemi COVID-19.
Pembicara selanjutnya, Howarth Bouis, pemegang World Food Prize Laureates 2016, dan pendiri serta mantan Direktur HarvestPlus Washington,menjelaskan tentang teknologi biofortifikasi, sebagai pembuka jalan untuk pengembangan tanaman pangan biofortifikasi yang benar-benar mendukung pentingnya makanan pokok, yang tidak hanya kaya akan karbohidrat seperti yang ada sekarang, tetapi juga menjadi kaya akan aneka ragam vitamin dan mineral.
Meskipun pola makanan tidak beragam, karena ketidak mampuan daya beli, pangan biofortifikasi juga mengandung vitamin dan mineral yang cukup memadai, dan mampu mengurangi bahaya kurang gizi. Howarth menjelaskan tentang peran biofortifikasi makanan pokok dalam meningkatkan nilai gizi pangan.
Kemudian Direktur Eksekutif GAIN, Co-chair Global Nutrition Report dan Pemegang World Food Prize Laureates 2018, Lawrence Haddad, memaparkan tentang mengapa fortifikasi makanan merupakan sebuah intervensi gizi yang tidak perlu disesali, karena perannya yang besar, khususnya dalam masa pandemi Covid-19.
Direktur Gizi dari Harvestplus Washington, Erick Boy, memberikan penjelasan tentang dasar riset gizi, bukti bagi biofortifikasi makanan pokok.
Selain itu, lokakarya ini juga menghadirkan Venkatesh Mannar yang merupakan pencetus beberapa inisiatif gizi internasional yang efektif, teknologi dan pengembangan yang difokuskan pada warga negara dunia yang paling rentan, dan juga mantan Presiden Micronutrient Initiative Canada.
Venkatesh menjelaskan tentang peningkatan fortifikasi garam dengan zat besi dan iodium sebagai solusi kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia secara berkelanjutan. Presentasi tersebut juga diikuti presentasi dari Andreas Bluethner, Direktur Gizi Bill and Melinda Gates Foundation yang menjelaskan tentang peranan pilantropi pada program fortifikasi pangan dunia.