Suara.com - Perubahan iklim bagi pertanian, seperti naiknya suhu minimum di malam hari, keragaman pola pergantian musim, dan kemungkinan terjadinya peristiwa iklim ekstrem, membuat petani tidak lagi dapat menggantungkan diri pada pengetahuan tradisional dan pengetahuan empiris. Menanggapi hal itu, inovasi pembelajaran petani menghadapi konsekuensi perubahan iklim telah diperkenalkan sejak 2008, di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada 2009 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada 2014 di Kabupaten Lombok Timur, Nusatenggara Barat, dan pada 2018 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Dalam kurun waktu satu dasawarsa tersebut, antropolog dari Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, menjalin kerja sama melalui pendekatan lintas-disiplin dengan pakar agrometeorologi, dan trans-disiplin dengan petani dalam menumbuhkembangkan program pembelajaran agrometeorologi dalam arena Warung Ilmiah Lapangan (WIL, Science Field Shops, SFSs).
Metode belajar secara berkesinambungan dengan petani sebagai peneliti dan berbagai pihak merupakan pendekatan utama.
Ada tujuh jasa layanan iklim (seven climate services) yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam arena belajar itu, yakni 1) mengukur curah hujan setiap hari; 2) mengamati dan mendokumentasikan kondisi agroekosistem lahan pertanian; 3) mengevaluasi hasil panen; 4) mengelola kegiatan WIL oleh petani sendiri; 5) menyebarluaskan skenario musiman untuk tiga bulan ke depan yang diperbaharui setiap bulan; 6) menyajikan pengetahuan baru yang dibutuhkan petani sesuai dengan kondisi di lahannya; dan 7) melaksanakan eksperimen “sama-sama menang” (win-win solution) di lahan petani.
Berbagai aktivitas petani dalam melaksanakan ketujuh jasa layanan iklim itu telah didokumentasikan melalui beragam kegiatan dan media, baik oleh ilmuwan maupun petani sendiri. Data curah hujan dan agroekosistem yang dihimpun petani, yang tergabung dalam Asosiasi Pengukur Curah Hujan, dalam kurun waktu beberapa tahun merupakan “harta kekayaan tidak ternilai” bagi petani.
Petani mengembangkan kemampuan analisis, antisipasi, dan pengambilan keputusan tentang strategi budi daya tanaman yang lebih jitu dan tanggap dalam menghadapi kondisi iklim tertentu. Petani pengukur curah hujan menganggap, dokumentasi yang dicatatnya merupakan sumber pengetahuan yang amat bermakna sebagai sumber rujukan bagi pengembangan kegiatan bercocok tanam yang lebih tangguh.
Pengalaman petani itu didokumentasikan secara seksama, tersistematisasi, dan sekaligus dapat menginspirasi petani lainnya di Indonesia, akademisi, praktisi, berbagai pihak, dan warga masyarakat luas. Untuk itu, Website Warung Ilmiah Lapangan (Science Field Shops-https://wil.ui.ac.id) dan Sistem Informasi Data Agrometeorologi Petani telah disiapkan oleh Tim Warung Ilmiah Lapangan Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Direktorat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Indonesia, menyajikan beragam kegiatan petani, termasuk aplikasi data curah hujan dan agroekosistem yang memungkinkan petani mengunggah dan mengunduh data yang dihimpunnya sendiri.
Peluncuran web dan aplikasi ini dilakukan di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Selasa (4/12/2018).
Data-data petani dan hasil olahannya tersebut dapat menjadi rujukan bagi petani bersangkutan dalam menentukan strategi antisipasi cocok tanam yang jitu di tengah ketidakteraturan datangnya musim hujan, ancaman peristiwa iklim ekstrem, dan kemungkinan serangan hama.
Petani pengukur curah hujan dan akademisi Universitas Indonesia berharap, website dan aplikasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Fasilitas yang dikembangkan oleh Universitas Indonesia ini merupakan sarana berbagi hasil pembelajaran inter dan trans disiplin sebagai bentuk pelaksanaan tridharma perguruan tinggi civitas akademik UI dalam menanggapi persoalan yang dihadapi oleh khalayak luas, khususnya para petani Indonesia.