Suara.com - Perbedaan penilaian pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan versi dunia, dengan yang dilakukan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi (Dikti), tetap membuat para peneliti di Universitas Indonesia (UI) berkarya. Mereka tetap menorehkan nama mereka di jurnal-jurnal internasional untuk terus menaikan posisi Indonesia di ranking universitas dunia.
Wakil Dekan Bidang Akademi, Riset, dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya (UI), Manneke Budiman, menanggapi perbedaan pemeringkatan dengan santai.
“Akhirnya (saat ini), kami tidak terlalu fokus dengan peringkat apapun yang dibuat Dikti, karena bagi kami yang penting bekerja yang sebaik-baiknya. Pengakuan datang sendiri dan itu terbukti dari beberapa rangking internasional yang utama. Itu memang klop. Kami adalah yang di atas,” ujarnya.
Menurut Manneke, pernyataannya itu tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa UI lebih baik dari ITB, UGM, dan universitas papan atas lainnya di Indonesia. Namun persoalan yang muncul dan menjadi ruwet, karena penilaian sistem ranking yang dibuat Dikti berbeda dengan parameter lembaga pemeringkatan universitas kelas internasional.
“Dengan standar ranking yang mereka pakai, maka hasilnya pun beda,” tutur peneliti bidang budaya yang sudah menghasilkan banyak karya ilmiah terkait budaya Indonesia.
Namun baginya, hal itu tidak masalah.
Manneke memaparkan, saat ini UI konsisten mengejar standar kualitas dan kuantitas publikasi internasional berdasarkan QS Time Higher Education (THE) dan Scopus. Pada papan penilaian THE, Universitas Indonesia menduduki posisi 601-800 ranking universitas terbaik dunia.
Pada QS World University Ranking, UI ada di peringkat 292 dunia dan 57 universitas terbaik di benua Asia dan nomor satu di Indonesia. Pemeringkatan THE didasarkan pada penilaian 13 indikator kinerja mendasari lima metrik, yakni penelitian, pengajaran, pengaruh penelitian, pendapatan industri dan international outlook.
Sementara Dikti merilis Hasil Klasterisasi Perguruan Tinggi Non Vokasi pada Agustus 2018 dan menempatkan UI pada ranking keempat di bawah ITB, UGM dan IPB.
“(Pemeringkatan Dikti) berpengaruh, karena ada perasaan yang memang kemudian sangat subjektif dari kamiTapi itu bisa terobati oleh ranking internasional yang kami dapat,” tutur peraih Doktor Filosofi Asian Studies dari University of British Columbia, Kanada.
Menurut Manneke, UI selalu berusaha mencapai target publikasi ilmiah, terutama untuk jurnal-jurnal internasional.
“Tiap tahun paling tidak sampai 2500, 2800. Makin lama 3 ribu jurnal. Tapi tidak terlalu dipikirkan cara mencapai itu bagaimana,” kata Manneke.
Dana hibah Dikti yang didapat UI sebagai perguruan tinggi nomor satu versi internasional tidak sebanding dengan prestasinya.
Menyikapi kondisi tersebut, Wakil Rektor III Bidang Riset dan Inovasi UI, Rosari Saleh, menyatakan, pihaknya akan tetap berkarya.
“Saat ini, kita tetap concern dengan ranking dunia. Bagaimana membawa Indonesia di ranking internasional,” ujar Rosari.
Sebelumnya dalam sebuah pertemuan di Istana Presiden Oktober 2018, Presiden Joko Widodo sempat menyorot tentang sedikitnya perguruan tinggi Indonesia yang masuk ranking bagus di kelas dunia. Jokowi mengungkapkan kekecewaan dengan adanya laporan baru tiga universitas di Indonesia yang masuk 500 besar universitas terbaik dunia.
UI di ranking 292, ITB nomor 359 dan UGM 391. Di bawah itu ada Unpad di posisi 651-700 dan IPB pada ranking 701-750.
Berbagai terobosan baru untuk menggenjot publikasi internasional terus dilakukan UI, diantaranya dengan memotivasi dosen untuk memberikan pendampingan kepada mahasiswa S1 dan S2. Mereka dipacu agar bisa mempublikasikan karya skripsi dan teesis mereka di jurnal-jurnal internasional.
Dengan jumlah mahasiswa lebih dari 40 ribu orang, UI merasa punya kekuatan untuk terus memperbaiki ranking mereka.
“Kita concern dengan ranking dunia. Untuk go global, kami memilih yang universal saja, walaupun di dalam negeri kita tetap mengikuti ranking nasional, harus terima dengan nomor sekian,” kata Rosari sambil tersenyum.