Suara.com - Potensi ekonomi mikro dan makro dari perdangan elektronik (e-commerce) membuat adanya regulasi yang adil bagi pengusaha semakin penting. Regulasi dapat menciptakan equal playing field bagi ekosistem perdagangan online, termasuk pelaku industri dan konsumen.
Pada tahun 2015 lalu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan Elektronik. Namun hingga kini, penyusunan RPP e-commerce tampaknya tidak mendapat perhatian dari publik. Naskah terbaru RPP e-commerce yang sedang digodok pun tidak kunjung diperlihatkan kepada para pelaku industri sebagai pihak yang terkena dampak langsung dari regulasi tersebut, dan wadah bernaungnya jutaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) seluruh Indonesia.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDea) Ignatius Untung menilai bahwa naskah RPP e-commerce harus mampu mengikuti perkembangan bisnis e-commerce yang sangat dinamis sekaligus mampu menstimulasi pertumbuhan volume bisnis e-commerce di masa depan.
"Potensi industri e-commerce dan perkembangan yang terjadi saat ini sangat besar. Sehingga regulasi juga seharusnya up to date dan mampu mendukung ekosistem bisnis ini. Sudah cukup lama sejak terakhir kami lihat draft RPP. Selepas itu, belum ada informasi terbaru terkait penjelasan dan solusi dari pemerintah terhadap poin-poin masukan kami di FGD dahulu," ungkapnya.
Senada dengan Untung, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Bilal Dewansyah, SH, MH, menilai bahwa seharusnya sebuah pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) mengandung asas keterbukaan dimulai dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengundangan hingga pengesahan.
"Ada amanat di bawah Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2011 yang kemudian dipertegas lewat Peraturan Presiden (PP) yang mewajibkan uji publik dan penyebarluasan naskah peraturan sejak rancangan dimulai. Sehingga stakeholders pun dilibatkannya sejak awal juga," ujar Bilal.
Pada tahun 2015, Kemendag pernah melakukan uji publik RPP e-commerce melalui focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh beberapa perwakilan pelaku industri. Bilal menilai seharusnya pemerintah bersikap lebih transparan terhadap RPP yang sedang digarap, baik kepada pelaku industri maupun masyarakat luas.
Di setiap tahapannya, masyarakat luas dan kelompok kepentingan terkait memiliki akses serta kesempatan yang seluas-luasnya untuk turut memberikan masukan dalam Pembentukan Perundang-undangan.
Bilal juga menegaskan bahwa pelaku industri memiliki hak untuk dapat mengakses naskah dari sebuah RPP.
"Wajib itu dari mulai rancangan. Jadi sudah ada naskah rancangan dan pasal–pasal telah berbentuk, nah itu ada kewajiban untuk pemerintah untuk mensosialisasikannya. Pentingnya (transparansi) itu karena akan berpengaruh terhadap pihak yang terkena dampak," tutup Bilal.